Sabtu, 02 Desember 2017

Sejenak Berkontemplasi

Pemira telah usai, menandakan roda kepemimpinan akan beralih pada generasi milenial selanjutnya, mengartikan juga akan rampungnya kepengurusan organisasi di periode tahun ini. Seperti biasa dan yang sudah sudah ada dua kondisi pada fase akhir prosesnya.

Kondisi pertama tetap mesra, tetap sama walau dalam kondisi yang berbeda, tetap bersua walau hanya dalam ranah social media. Dan kondisi kedua adalah hal yang saya tidak suka. Acuh pada pertemuan, dianggap biasa dalam percakapan, mengalami stagnasi akut pada ujung organisasinya. Hmm. Beberapa harus sadar, atau memang perlu disadarkan?

Sadar kah kalo punya suatu ikatan itu adalah suatu hal yang langka? Sadar kah serunya ketika permasalahan yang ada dapat diselesaikan dalam horizon kekeluargaan? Sadar kah ketika canda tawa bisa jadi pelipur lara dalam zona perantauan? Ketika keluarga di kampung tidak bisa ditemui setiap hari, namun di sini masih banyak teman-teman yang bisa menemani? Sadar bahwa ngga semua orang bisa ngerasin rutinitas tiap minggu ini? Mengingat juga banyak orang yang gagal pada strata awal sebelum masuk ke dalam ikatan organisasi ini? Sadar?

Bersikap acuh pada periode akhir organisasi ini bukanlah suatu hal yang bijak teman. Menyikapi dengan cara menjauh bukan juga cara yang tepat. Berfikir dengan konteks tidak adanya saya pun semua proker dapat berjalan juga tidak benar.  

Bagi saya organisasi bukanlah hal yang remeh seperti itu, memang benar, ada ataupun tidak adanya saya/ kamu sebuah organisasi mungkin saja masih dapat berjalan. Namun pasti akan ada hal yang hilang. Bisa jadi tentang makna sebenarnya ada disini, bukan hanya tentang program kerja tapi lebih daripada itu; proses yang mendewasakan, kualitas berinteraksi, menyikapi perbedaan opini, menyikapi permasalahan antar pribadi. Dan yang terpenting adalah ukhuwah kontinu kita pada fase setelah organisasi nantinya. Tidak mau dan tidak ingin saya apabila di pertemuan-pertememuan selanjutnya kita menjadi pertemuan yg tabu dan asing, seolah tidak kenal padahal dulu saling mengenal, seolah lupa padahal dulu selalu bersua.

Di 1 bulan sebelum demisioner ini sepertinya saya dan mungkin kamu bisa sejenak untuk berkontemplasi pada kondisi final organisasi ini. Waktu tidak pernah bisa kembali termasuk impresi kita pada tempo mingguan ini. Candaan recehmu apalagi, mungkin tidak akan bisa lagi ditemui. Gores luka jelas selalu ada, tapi bukankah itu yang akan jadi cerita? Sebentar lagi kisah kita akan berakhir tapi saya yakin kenangan-kenangannya selalu bisa terukir.

Jadi, maukah kamu untuk mengukir kisah, momento serta memoar kita di 1 bulan terakhir organisasi ini? Menjadi akhir yang indah seperti pertemuan  paruh dan awal waktu kita? Mari mengukir sebelum pertemuan kita setelahnya menjadi pertemuan yang langka.  Semoga Allah tetap memberi kita kesempatan untuk bertemu juga bersua walau dalam keadaan ataupun situasi yang berbeda. Semoga

"Jika nanti kita jauh dan sesekali kamu bertanya dalam ragu, apakah aku rindu? Kamu tau jawabnya adalah selalu" (Anonim, 2016)

03/12/2017
Satu Bulan Menjelang Demisioner
Ibnu Dharma

Selasa, 10 Oktober 2017

Prioritas



Beberapa hari yang lalu saya selesai membaca salah satu buku terlaris yang ditulis oleh Sean Covey berjudul ; The 7 Habits of Highly Effective Teens, sebuah buku yang digambarkan dari kaca perspektif Sean tentang kepribadian dan kebiasaan kehidupan remaja yang sedang mentransisikan diri menuju fase pendewasaan. Dibuat dengan beberapa responden yang akurat dari hasil wawancara remaja yang telah atau sedang mengalami fase-fase tertentu. Dari tujuh kebiasaan yang ditulis saya cukup tertarik pada kebiasan nomor tiga, kebiasaan ketiga ini sebenarnya pernah juga disampaikan dosen saya ketika saya duduk di semester tiga dan sampai sekarang terus saya ingat. Kebiasaan ketiga ini adalah tentang Mendahulukan yang Utama. Pengertian Mendahulukan adalah terkait dengan menentukan mana prioritas nomer satu dan mana prioritas-prioritas berikutnya. Dalam kacamata saya, mendahulukan yang utama artinya sama juga dengan mendahulukan renjana, passion¸serta pengembangan diri sebagai langkah preventif dalam menghadapai masa depan yang terus berdisrupsi dengan cepatnya bak awan kintonnya son goku.


Dalam studi kasus saya sebagai seorang mahasiswa maka penentuan prioritas ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan dunia perkuliahan, kampus, maupun relasi pertemanan yang dibangun. dan mungkin saja akan terjadi diferensiasi perspektif dengan beberapa orang.

Kuadran 1 (Penting dan Mendesak) : Masuk dalam kuadran ini adalah suatu genting juga harus dilakukan, pada umumnya kebanyakan mahasiswa juga masuk dalam kuadran ini. Jelasnya kuadran ini adalah untuk mereka yang suka menunda, baik itu pekerjaan dalam skala mikro hingga yang besar. contohnya adalah mengerjakan tugas sehari sebelum dikumpul, masuk kuliah, mengikuti ujian,  dll.

Kuadran 2 (Penting dan Tidak Mendesak) : Jika kuadran satu adalah tentang suatu hal yang mendesak, yang dalam satu hari atau satu pekan memang harus direalisasikan. Jika tidak, beberapa dengan sadar akan mengalami kefrustasian yang merajuk. Perbedaan yang mecolok antara kuadran satu dan dua ini adalah urgensinya. Di kuadran dua adalah tentang hal-hal yang penting namun dalam implementasinya bukanlah suatu hal yang mendesak. Jika tidak dilakukan pun sebenarnya tidak akan menjadi masalah pada waktu tertentu. Idealnya, kuadran ini adalah tentang langkah preventif untuk menghadapi masa depan. Hasilnya bukanlah suatu hal yang dapat dipetik dalam satu hari atau satu minggu. Tapi menjadikannya investasi untuk masa depan. Selain itu, jika diakumulasikan, misalnya dalam populasi mahasiswa yang ada. Jelas hanya akan ada beberapa individu yang berani masuk pada kuadran ini. Contohnya adalah : Belajar bisnis, belajar Bahasa inggris, membangun networking, mengikuti perlombaan. Dll

Kuadran 3 (Tidak Penting dan Mendesak) : Hampir dari kebanyakan mahasiswa juga masuk pada kuadran ini, termasuk saya. dalam urgensinya memang medesak namun dalam implementasinya sebenarnya bukanlah suatu hal yang penting. Jika tidak dilakukan pun tidak akan menjadi problem yang mendesir dalam pemikiran.  Terbentuk atas tuntutan entah itu dari internal maupun luar. Contohnya : Berselancar secara berlebihan di social media, mantengin komentar-komentar di sebuah postingan yang viral. Dll

Kuadran 4 (Tidak Penting dan Tidak Mendesak) : Kuadran ini jelasnya adalah tentang bersantai-santai (leha-leha ?). Waktu yang diberikan tentunya tidak akan bisa dikembalikan, pada kuadran ini sebagian orang justru menyia-nyiakan waktunya dengan suatu hal yang tidak penting dan juga tidak mendesak. Dalam jangka panjang dapat menjadi kebiasaan buruk yang sulit untuk dihentikan. Contohnya : Nonton suatu film berulang-ulang, Nongkrong setiap hari, Dll

          Hal-hal yang saya tulis merupakan pemikiran saya pribadi. Contoh-contoh diatas bisa saja menjadi tidak relevan dengan kehidupan beberapa mahasiswa. Misalnya berselancar di social media karena ingin mengetahui kepribadian seseorang. Tentunya untuk beberapa orang akan menjadi suatu hal yang penting karena korelasinya adalah terkait dengan berhubungan antara insan. Jadi, semakin kita mengerti dan paham terhadap kegiatan yang utama maka semakin jelas pula kita dalam penentuan prioritas, dan semakin jelas menentukan prioritas maka semakin jelas pula untuk mempersiapkan diri guna mencapai impian di masa yang akan datang. Karena keberhasilan adalah pertemuan antara persiapan dan juga peluang, maka persiapkanlah.

Ibnu Dharma Nugraha
Twitter : @_Ibnudharma

Minggu, 01 Oktober 2017

Fokus-Yakin-Konsisten


         Kendala yang seringkali menjangkit para wirausahawan muda seperti saya adalah ketidakkonsistenan serta ketidakfokusan diri terhadap apa yang telah direncanakan, terhadap apa yang telah dimulai. Di satu waktu memiliki rasa antusiasme dan keoptimisan yang begitu tinggi bak kerajaan langitnya kera sakti, di waktu lain justru memudar terselimuti rasa resah, letih juga gelisah karena tahu jalan yang dilewati ternyata tidak sesuai dengan apa yang diteorikan dalam pemikiran. Kadangkala, atau bahkan sering saya melihat beberapa orang yang merintis usahanya lalu kandas di tengah jalan, lebih parah lagi di tengahnya tengah jalan. Padahal di awal waktu punya keinginan kuat untuk bermanfaat serta keyakinan hebat untuk membuat.
    Memulainya lagi-lagi saya katakan bukanlah suatu hal yang mudah, mempertahankannya sampai menuju visi apalagi. Dan jelas tidak sembarang orang yang bisa bertahan juga berjalan pada bidang ini, bertahan dalam prosesnya, bertahan untuk melaluinya. Dari hasil akumulasi paradigma yang sudah dan seringkali saya lihat juga rasakan. Ternyata hanya orang-orang tertentu yang bisa bertahan untuk mencapai orientasi akhirnya. Tidak dan bukan seseorang yang memiliki public speaking yang baik, tidak dan bukan seseorang yang punya jabatan dalam organisasinya, tidak dan bukan seseorang yang punya Indeks Prestasi mendekati empat, atau tidak dan bukan orang yang sering menjuarai perlombaan business model canvas. Tapi iya dan benar adalah mereka yang punya semangat, punya mimpi, dan punya orientasi yang jelas dalam memulai usahanya. Orang-orang yang sabar dalam menjalani, sabar dalam melalui. Orang-orang yang menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam prosesnya. Orang-orang yang yakin serta percaya bahwa pada setiap kejadian selalu ada hikmah yang tersimpan, ada pembelajaran yang bisa digenggam, bahkan pada konteks kegagalan serta bentrokan pada sisi-sisinya. Orang-orang yang mau belajar pada konteks dimana, gimana, apa, dan siapa, tidak kemudian merasa tinggi dengan ilmu yang sudah dikecap.

Menjadi Fokus
          Tulisan ini sebenarnya punya korelasi yang jelas dengan tulisan saya di minggu lalu , ya tentang ketidakmudahan dalam memulai sebuah usaha. Tulisan ini juga berasal dari hal-hal yang saya temukan beberapa bulan kebelakang dengan ikut berwirausaha bersama beberapa teman. Namun dalam nyatanya berakhir pada katakanlah serah menyerah, bahkan pada tahap sebelum launching produk. Di awal waktu sangat semangat ; membuat logo, membuat poster coming soon yang ngga tau comingnya kapan, membuat akun-akun media sosial, bahkan membuat website dengan patokan harga yang tidak murah. Namun kandas, selesai, hilang. Tutup usia pada waktu yang sama sekali tidak wajar, termakan oleh keputusaan dalam problematika yang dibenturkan pada perencanaan serta keyakinan.
          Maka poin penting pada kali ini adalah sebuah kefokusan, konsistensi serta keyakinan. Fokus dalam berproses, konsisten dalam melalui serta yakin bahwa ada Allah yang selalu membersamai kita, dalam jalan yang kita tempuh saat ini untuk masa yang akan datang. Lagi dan lagi saya berdo'a semoga Allah SWT memudahkan langkah saya dan teman-teman sekalian dalam meraih impian di masa depan. Amin Ya Rabbal Alamin
"La Tahzan, Innallaha Ma'ana" (Q.S At-Taubah [9]: 40).

Ibnu Dharma Nugraha
Twitter : @_Ibnudharma

Senin, 25 September 2017

Tidak Mudah


Beberapa hari yang lalu saya memberanikan diri untuk menjadi Sales Marketing prematur pada salah satu usaha yang sedang saya geluti. Sebabnya lagi-lagi adalah karena melihat beberapa resolusi yang telah saya lesatkan pada kertas bingkai keburaman. Walaupun prematur, bukan berarti tanpa perencanaan serta persiapan. Diawal bahkan saya sempat membeli serta membaca buku terkait marketing yang ditulis oleh Mr. Kokon, menonton beberapa video suksesnya para Sales Marketing, juga membuat tatanan rencana Business Model Canvas termasuk plot Customers Segment yang akan saya sasar baik itu pada lingkup Demographic, Geographic, Pschographic maupun Behaviour. Sangat terstruktur dan tertata dari hulu hingga hilirnya.
Alhasil. hal yang harus saya lakukan pada versi alpha produk adalah menjual dengan tepat kepada Customers Segment yang telah dihipotesiskan. Tujuannya adalah untuk menguji apakah produk yang saya buat sudah layak dan sesuai dengan keinginan pasar, evaluasi perbaikan dalam tatanan perencaaan serta kemungkinan untuk melakukan pivots produk. Perlu dimengerti bahwa hal yang dominan pertama kali sebelum pembuatan sistem pemasaran adalah penjualan, sebaik apapun produk yang kita punya, sehebat apapun ide kreatif yang terbesit dalam dogma. Tanpa penjualan yang maksimal dan sustain semua itu hanya bualan, kosong.
Sebagai tenaga penjual pemula, perencanaan yang maksimal dengan penuh pertimbangan memang suatu hal yang penting, namun pada sudut yang berbeda hal lain yang harus dilakukan adalah meyakinkan diri bahwa produk yang dijual sudah sesuai dengan spesifikasi dan kriteria pasar yang dituju. Walau hanya sebatas garis hipotesis tapi fungsi keyakinan pada awal pembentukan produk menjadi kunci penting dalam mengawali usaha/ bisnis. Jelasnya adalah sebelum meyakinkan orang lain untuk membeli produk kita, kita sendiri dulu lah yang seharusnya bisa yakin bahwa produk kita layak untuk dibeli, layak terjual.
Oleh karenanya seorang Sales Marketing harus punya kemampuan untuk bisa berkomunikasi  yang baik dengan calon pembeli, bahkan pada segmentasi yang berbeda sebut saja tempat, waktu, dan karakter orang yang ditemui. Sebuah proses menjadi value penting pada posisi  ini, tidak kemudian menjadi instan dan goal!! produk terjual, namun dilalui dengan penuh liku bahkan pilu. Seperti rasa malu pada awal peluncuran produk, kerugian hingga pahitnya sebuah kegagalan. Maka nikmatilah segala proses yang terjadi, percaya bahwa sebuah keberhasilan bukanlah suatu hal yang bisa diraih dengan cara yang instan, tapi melalui proses bekepanjangan dan berkelanjutan.

Tidak Mudah
          Menjadi seorang entrepreneur memang bukanlah sebuah perkara yang mudah, ketika kita mendekretkan diri untuk menjadi seorang entrepreneur maka secara tidak langsung pula mengartikan tindakan pada sebuah tantangan serta keyakinan pada prosesnya. Jatuh bangun membangun menjadi proses liku yang pasti dialami. Maka lagi-lagi saya katakan adalah menikmati dengan penuh hikmat pada proses yang terjadi nantinya dan yakin masih ada Allah SWT yang selalu menolong kita, pada kondisi apapun, pada siapapun.
Pengalaman menjual produk yang cukup berkesan bagi saya adalah beberapa hari yang lalu. Ya, dari sekitar 15 produk kripik pisang yang dibuat, saya hanya berhasil menjual 9 bungkus kripik pisang, sisanya dijual oleh teman saya. Pada proses penjualan kemarin saya mendapatkan pengalaman yang cukup berkesan dan menarik. Satu kesimpulan yang saya dapat adalah sebuah persepsi bahwa menjual serta meyakinkan produk kita kepada orang lain bukanlah suatu hal mudah, bahkan sulit sekali. Seringkali pada tahap promosi yang saya lakukan, berakhir pada kalimat penolakan, bahkan sering juga ditolak sebelum dipromosikan. Tapi, lagi-lagi saya tekankan dan yakin pada diri saya sendiri bahwa tidak ada keberhasilan yang diraih secara instan. Semuanya membutuhkan proses, ikhtiar juga kerja keras. Semoga Allah SWT memudahkan langkah saya dan teman-teman sekalian dalam meraih impian di masa depan. Amin Ya Rabbal Alamin



Ibnu Dharma Nugraha
Twitter : @_IbnuDharma

          

Minggu, 17 September 2017

Sok Ng-Akrab



Salah satu hal yang saya sukai ketika mentransisikan diri pada sebuah lingkungan yang baru adalah menemukan suasana yang baru pula, teman maupun karakter eksentrik yang unik dari mereka. Biasanya  sih hal yang saya lakukan pertama kali pada lingkungan tersebut adalah sebuah kegigihan untuk mengenal (Peng-Akraban), serta ketakutan kalo dikacangin. Entah ini merupakan genetik parsial bawaan dari ayah saya atau memang bawaan sifat alamiah semasa di Sekolah Dasar menjadikan saya masuk ke dalam pribadi extrovert, atau lebih jauh lagi adalah pribadi extra unique extrovert.
Jika dirincikan secara eksplisit lagi maka ada tiga tahapan yang biasanya saya lakukan pada fase Peng-Akraban ini ; pertama adalah menanyakan nama, kedua adalah kabar, dan ketiga adalah asal (Fakultas/ Universitas/ Daerah). Respond yang digambarkan jelas tidak akan sama dari satu sifat ke sifat lainnya maupun satu orang ke orang lainnya. Ada yang menanggapi dengan antusiasme dan kemudian membentuk sinergi  di dalamnya. Ada pula yang tersipu sapu karena malu. Atau bahkan menanggapi dengan ratapan sinis senyuman bengis.
 Untungnya adalah, dari impresi pertama yang digambarkan pada awal pertemuan tersebut saya bisa belajar  bagaimana membangun hubungan interaksi yang baik dengan mereka di waktu paruh lainnya. Perbedaan karakterisitik yang kentara tersebut juga membuat saya bisa berfikir dulu sebelum berbicara. Menimbang sebelum bertindak. Agar tidak menyakiti maupun menyinggung. Sehingga terkorelasilah diri saya dengan mereka dalam stigma positif yang membangun. Berteman hingga akhir hayat. Mengenang dan dikenang.
Impresi pertama menentukan tindakan-tindakan selanjutnya. Pada kasus Ng-Akrab ini jelas akan terjadi respond yang berbeda dari berbagai karakter. Pentingnya evaluasi dalam memposisikan adalah tindakan berikutnya yang harus dilakukan. Ketika berhadapan dengan satu karakter yang senang bersinergi maka langkah berikutnya adalah mempertahankan hubungan tersebut, lebih dari itu baiknya lagi adalah meningkatkan. Agar tetap nyaman dalam indah manisnya ukhuwah. Namun, lain ceritanya apabila respond yang dimunculkan adalah respond Negasi yakni keacuhan. Secara pribadi, menanggapi hal seperti ini adalah suatu hal yang sulit, bukan berarti tidak bisa dilakukan. Langkahnya adalah perlahan, sabar dan masif dalam membangun interaksi dengan karakter tersebut. Bukan hanya pada pertemuan pertama saja, tapi juga secara sustain dipertemuan-pertemuan selanjutnya.

Belajar Ng-Akrab
          Pada sebagian orang, Ng-Akrab di awal perjumpaan adalah suatu hal yang tabu. Tak jarang sebagian orang ini pula akan menginterpretasikan Ng-Akrab pada suatu hal yang menganggu dan aneh. Bahkan kadang diidentikan sebagai system modus dalam ajang pencarian jodoh impian masa depan, apalagi yang Ng-Akrab ini adalah seorang jomblo yang memiliki kehirarkian jomblo permanen. Bagi saya sendiri dengan melakukan Peng-Akraban maka masuk pula pada awal proses menanggalkan kepongahan dalam keegoisan. Menanggalkan diferensiasi nyata antara si A dan si B juga zona disintegrasi yang acapkali menjadi pemicu keretakan dalam hubungan pertemanan. Pentingnya Ng-Akrab di awal pertemuan juga dapat menjadi pemicu untuk bertemu di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Apalagi jika berada pada posisi mentor/ ketua di sebuah organisasi ataupun kepanitiaan. Menjadikan tempat yang asik dalam bercakap dan berkomunikasi. Dan akhirnya adalah keberlanjutan dalam hubungan, interaksi, maupun berteman. Jadi? Ayo belajar untuk Akrab.

Tulisan ini diterbitkan di selasar dengan beberapa penyesuaian
https://www.selasar.com/jurnal/38593/Belajar-Akrab )



Ibnu Dharma Nugraha
Twitter : @_IbnuDharma

Minggu, 10 September 2017

Fase Transisi

   Fase transisi merupakan fase yang membingungkan, dibenturkan pada sebuah kenyataan bahwa setiap insan dipaksa teralihkan dalam sebuah keadaan. Dengan tuntutan untuk mulai menanggalkan kelakuan yang ia biasakan. Berubah, diubah, bahkan mengubah. Si insan yang bijak akan memilih jalur transisi yang benar. Mengantarkannya pada roda kebaikan. Dipaksakan untuk keluar dari zonansi nyamannya. Lagi dan lagi, hingga terbiasa dan terbentuklah kebiasaan. Sebaliknya, si insan yang lena akan berjalan tetap tanpa pertimbangan. Mengacuhkan segala perubahan. Masuk pada jalur yamg sama bahkan tak luput dari kesalahan. Mengantarkannya pada sebuah kesamaran rasa nyaman. Terlena dilenakan hingga terbiasa dan terbentuklah kebiasaan.
Fase transisi : fase pendewasaan. Tak jarang, bentuk konkrit dewasa yang sebenarnya di awali pada fase ini. Jelasnya mengartikan fase ini bukan hanya tentang berkurangnya usia kehidupan, bukan pula tentang bertambahnya tinggi badan. Lebih dari itu adalah perubahan mindset untuk mendewasakan segala hal, sebut saja pemikiran, kelakuan, dan juga kebiasaan. Setiap insan yang masuk pada fase ini akan dihadapkan pada sebuah pilihan dua jalur perubahan. Tetap menetap dengan sikap dan pola pemikiran lamanya atau mentrasisikan diri pada sebuah kemungkinan untuk mulai mendewasakan. Masuk pada zonansi  aman yang nyaman atau belajar untuk keluar berhadapan dengan liku dan juga pilu proses kebaikan.
Fase transisi terkuat yang saya alami adalah ketika memasuki bangku perkuliahan. Diferensiasi ruang serta kegiatan mengharuskan saya untuk mengubah banyak hal ditambah lagi dengan ketiadaan sanak famili di Kota Malang tempat saya kuliah. Lalu dengan banyaknya sikap dan perilaku yang ditampilan mengkondisikan kehidupan kuliah yang syarat dengan kompleksitas, merangsang pemikiran untuk merubah kelakuan, dan mementokan kembali impian saya di masa yang akan datang. Jelas, untuk Menafikan diri pada kebiasaan lama adalah suatu hal yang rumit, merelakan kenyamanan digantikan dengan kepedihan adalah suatu hal yang sulit. Untuk berhasil pada fase transisi ini tidak bisa sendirian, perlu teman dan kawan untuk mendukung serta memotivasi. Maka, hal yang harus dilakukan di awal kuliah adalah dengan mencari kawan yang sejalan dengan pemikiran, seyakin dengan impian serta sekuat dalam proses kebaikan.
Ketika mentrasisikan diri pada sebuah keadaan bukan lampau. Sebuah permainan dan seperangkat aturan baru pun akan berlaku. Menarik energi mimpi dalam realisasi. Merenung sejenak untuk beraksi. Beberapa insan akan kuat dalam menjalani. Beberapa lagi akan mengalami kemorosotan semangat dan antusiasme lalu kembali pada rutinitas lama yang sama. Maka, untuk memberikan hasil yang permanen dan berjangka panjang adalah dengan mengingat, bahwa ada banyak impian yang harus direalisasikan. Ada kebaikan yang harus disalurkan serta ada kebermanfaatan yang harus dibangunkan. Maka Bentuklah kebiasaan dan kebiasaan itu akan membentukmu.

Tulisan ini diterbitkan di selasar dengan beberapa penyesuaian
(  https://www.selasar.com/jurnal/38529/Fase-Transisi )

Ibnu Dharma Nugraha
Tulisan ini terinspirasi dari inspiring story kawan saya yaitu Abdul Latif, FILKOM UB 2015.



Sabtu, 02 September 2017

Mempedulikan Kepedulian

Agaknya, memang saya adalah salah satu makhluk hidup yang ngenes dan juga beruntung. Masuk pada zaman dengan indeks kepekaan yang katanya rendah, dilanjut sedang kuliah di kota antah-brantah ditambah lagi ketiadaan sanak famili di kota ini cukup meyakinkan diri kalo saya adalah makhluk hidup yang ngenes. Beruntungnya, saya juga masuk pada era disrupsi, yang memaksakan diri untuk terus berlari, memantapkan hati untuk bisa mandiri, berinteraksi guna menambah relasi dan juga membangun ikatan ukhuwah dengan beberapa kerabat baru yang nyandu dalam konteks kebaikan. Sebagai makhluk sosial yang hobinya panjat sosial, saya sadar bahwa berhubungan dengan banyak orang dan banyak karakteristik di dalamnya adalah sebuah kewajiban untuk dilakukan serta tuntutan untuk direalisasikan. Apalagi jika sedang belajar di kota orang yang memiliki diferensiasi budaya dan karakter dengan kota asal. Oleh karenanya, Seseram apapun pemikiran saya tentang dunia luar, mau tidak mau, tahu tidak tahu, dan yakin tidak yakin. Saya harus memaksakan pemikiran untuk merubah kelakuan. Keluar untuk berinteraksi, Keluar untuk menghadirkan kepekaan.
Unik, aneh serta beruntungnya saya adalah berhasil membangun serta menjalin hubungan dengan beberapa orang di dalam kelas, kepanitiaan maupun organisasi yang saya ikuti. Beruntungnya lagi walau telah selesai dalam pertemuan ternyata tidak selesai dalam hubungan. Artinya, walau sudah lengser dari kepengurusan organisasi, ikatan-ikatan persahabatan itu tetap terjalin, walaupun hanya sebatas candaan receh dalam media online, atau komenan singkat dalam postingan Instagram. Benar-benar suatu yang membuat saya merasa nyaman ketika Bersama dengan mereka.
Namun akhir-akhir ini saya tersadar bahwa ada satu nilai yang saya lupakan dalam asyiknya persahabatan tersebut, nilai yang tersamarkan oleh rasa nyaman saya terhadap mereka. Itu tentang kepedulian, banyak ternyata kalo diingat teman-teman saya di perantauan ini yang peduli terhadap saya, menjadikan saya sebagai keluarga kedua mereka. Mulai dari meminjamkan uang, mengantarkan ke kosan, menanyakan kabar, mengingatkan untuk mengerjakan laporan, bahkan motivasi untuk terus berkarya di blog ini. Namun parahnya, tidak jarang respond yang saya berikan adalah sebuah kebiasaan untuk membiasakan. Menyederhanakan istimewanya kepedulian dengan menyepelekan. Biasa
Kita hidup dalam zaman yang berbeda dengan zaman ayah ibu kita dilahirkan, kepedulian saat ini adalah suatu hal yang kadangkali kita biasakan, bahkan mungkin disepelekan. Padahal adanya kepedulian lah yang membuat kita hidup. Tanpa pinjaman uang mana bisa kita makan? Tanpa motivasi mana bisa kita percaya dan yakin bahwa karya kita bagus? Saat ini adalah saatnya untuk mulai meninggalkan kepongahan diri dan beralih dalam bentuk mempedulikan. Mempedulikan kepedulian orang lain terhadap kita, teman, sahabat, kaka tingkat. Atau lebih besar dan lebih kuat lagi adalah mempedulikan semua orang di sekitar kita dan di dunia ini.



Ibnu Dharma Nugraha
Twitter : @_IbnuDharma

Minggu, 27 Agustus 2017

Merenungi Keburaman

 “Aku melihat handphone hitam androidku, pukul dua belas lebih tiga puluh menit, ku ganti lagu yang sedang diputar, sesekali ku benarkan posisi headset yang kurang pas di telinga. Sepanjang mata memandang berjalan menuju kosku hanya ada gedung tanah dan BP yang berpapasan dengan beberapa pohon sawit di depannya, yang tanpa lelah melambaikan pelepah daunnya. indah, sunyi dan begitu damai. Kuedarkan pandangan ini untuk melihat suasana yang lain, di depan gedung sosek tepatnya beberapa mahasiswa dengan pakaian yang tidak asing lagi, jas almamater berwana biru dengan kemeja putih dan juga dasi yang rapih, pantopel hitam yang mengkilat dikombinasikan dengan beberapa atribut khasnya, parcel makanan, dan juga boneka  huruf S dan P, sesekali mereka melakukan selfie, juga foto bareng untuk menyimpan momen tersebut. Ya momen yang kelak akan dirasakan oleh setiap mahasiswa, baik itu mahasiswa tepat waktu ataupun mahasiswa abadi, momen yang aku pun akan melaluinya, lalu terbesit pertanyaan, sudah sejauh mana aku mempersiapkan? Buram masih buram”

Sudah bukan biasa lagi namanya jika masuk di tahun ketiga belajar di kampus ini kampus tercinta brawijaya, cukup sedih mengetahui bahwa saya adalah mahasiswa hampir tingkat akhir disini; semester 5, bisa dikatakan pula saya sedang masuk dalam fase quarter life crisis, fase sakral bagi anak-anak muda yang galau seperti saya, heuheu. Sedikit flashback di dua tahun kemarin ternyata kalo dipikir-pikir banyak juga hal yang sudah saya lakukan, meski tak sedikit pula yang berakhir pada katakanlah ekspektasi, rencana yang tidak terealisasi. Dan kini adalah tahun ketiga, itu tandanya semakin dekat saya dengan magang, sempro, semhas, yudisium, wisuda, bahkan mungkin pencarian jodoh impian masa depan, lantas sudah sejauh mana saya mempersiapkan itu semua? Atau kamu? Persiapan yang saya maksud disini bukanlah hanya sebuah transkrip nilai yang berupa huruf saja, tapi lebih daripada itu adalah mindset kumulatif dari pengalaman-pengalaman yang telah dilalui yang kemudian dapat di implementasikan secara eksplisit pada kehidupan masyarakat nantinya. Ya tentunya kita masih ingat dengan embel-embel peran mahasiswa? Yang selalu digembor-gemborkan ketika memasuki fase transisi menuju kuliah? Saya harap selalu diingat dan tersimpan rapat dalam memoar, bukan hanya sebatas pemikiran tapi juga tindakan konkrit nantinya.

Metamorfosa Paradigma
Lewat hampir tiga tahun berada di kampus ini, mengingatkan diri terhadap hal yang saya lakukan di dua tahun kemarin, di tahun pertama kuliah sedang semangat-semangatnya mengerjakan laporan praktikum, sepertinya memasuki perpustakaan sudah menjadi kebiasaan kala itu, mengikuti beberapa kepanitiaan, dan sedikit organisasi menjadi semacam rutinitas yang dilakukan pada tahun itu, Kemudian di tahun kedua hmm kurang lebih sama dengan tahun pertama, yang berbeda hanya orientasi masuk perpustakaan yakni untuk mendapatkan wifi gratis dengan suasana sunyi, dan ademnya kipas angin di dalamnya, heuheu. Seiring berjalannya dua tahun kemarin, maka beriringan pula terhadap perubahan pola pikir saya, pola pikir yang acapkali menjadi landasan utama dalam melakukan sesuatu baik itu di masa sekarang atau bahkan di masa yang akan datang. Perubahan yang cukup luarbiasa setelah sebelumnya sempat menimbang dan juga berfikir, mana saja hal-hal yang harus saya lakukan di tahun ketiga ini, perubahan pola pikir ini mungkin baru pertama kali saya alami, menjadi pemikiran paradoks anti mainstream-mainstream club, hmm
Tentunya perubahan mindset ini tidak terjadi dalam satu waktu, apalagi perubahan ini terkait dengan impian saya di masa yang akan datang pasca kuliah nantinya, atau mungkin kamu. pernah? Ibarat sebuah kapal yang berlayar dengan saya sebagai nahkodanya, pulau yang ada di depan sebagai orientasi akhirnya, kemudian angin adalah penentu arah geraknya. Perlu kiranya saya untuk mengetahui situasi angin saat berlayar agar bisa mencapai pulau di depan, atau pilihan lainnya adalah mengganti haluan karena ritme angin yang tidak seirama dengan orientasi akhir pulau itu, tapi tetap pada tujuan akhir yakni sebuah pulau. Jika diawal saya bersikeras untuk bisa mencapai pulau tersebut, walau ada hambatan dan juga tantangan, maka kali ini saya lebih memilih untuk mengganti haluan dengan cara yang lebih seru dan juga menyenangkan. Yaps, ini tentang sebuah renjana (passion), yakni menjadikan suatu yang disukai menjadi lebih menguntungkan dan bermanfaat. Sudah cukup penat memang jika menjalani masa kuliah ini dengan suatu hal yang tidak disukai, memaksakan diri tanpa mengerti keinginan diri itu sendiri, tidak memaksimalkan potensi tapi malah memaksimalkan belenggu yang terbentuk dari persepsi-persepsi.
Di bulan Juni hingga Agustus ini saya banyak menimbang juga berfikir apakah hal yang saya lakukan saat ini sudah sebanding dengan tujuan saya pasca lulus nanti? Tujuan yang sudah saya tulis dalam manis manjanya ekspektasi di secarik kertas. Kalo boleh dijujur, menyesal juga jika mengingat dua tahun kemarin hanya digunakan untuk mengikuti pola pikir maupun perilaku yang ada, sama dan berulang-ulang. Sesuatu yang pada awalnya saya kira benar namun pada prosesnya lebih kepada belenggu yang terbentuk dari persepsi di masa lalu. Kita sudah tahu akhirnya seperti apa, namun sisi lain diri juga enggan untuk melakukan hal lain dan berbeda, padahal ada potensi di balik itu semua. Hmm, mengutip perkataan komika senior Pandji Pragiwaksono, dalam tournya Pandji berkata bahwa “Sedikit lebih beda, lebih baik daripada sedikit lebih baik” dari kalimat itu saya berfikir dan bertanya, perlukah saya menjadi seseorang yang berbeda? Menjadi pemikir di luar kotak? Atau bahkan tanpa kotak sama sekali? Dalam pikir ini pun terbesit satu prinsip bahwa menjadi berbeda adalah suatu hal yang istimewa, menjadikan diri kita terdiferensiasi dengan kebanyakan orang bagi saya adalah suatu hal yang unik dan juga eksentrik, diferensiasi ini tentunya tetap patuh pada prinsip nilai dan norma yang ada di masyarakat. Menjadi berbeda berarti juga berani untuk mulai menanggalkan perilaku-perilaku nyaman pada zona yang aman, perilaku dominan yang dalam nyatanya tidak begitu besar memberikan dampak positif dalam diri ini. Ya, metamorfosa paradigma ini adalah tentang pemikiran diferensiasi diri, menjadi berbeda dengan berusaha mencapai versi terbaik saya dalam diri dan hidup ini.

Just Do it, Don’t Regret It
          Sembari merenungi pemikiran-pemikiran abstrak tak karuan terkait lulus nanti, hendaknya dibarengi dengan realisasi impian yang sudah direncanakan supaya tak berakhir menjadi sebuah ekspektasi semata, Penting pula untuk bisa mengenal diri sendiri, passion dan juga tujuan akhir nantinya, agar tidak menjadi tabu dan samar-samar. Jangan juga mengikuti dogma persepsi yang terbentuk tanpa mengetahui tujuan akhir dari persepsi-persepsi tersebut, apalagi jika persepsi itu bertentangan dengan impian yang selalu di elu-elukan di awal masuk kuliah, harus yakin dan percaya bahwa sebuah makna itu selalu bisa lahir dari apapun yang ada. Mengutip perkataan dari Mahasiswa Berprestasi IPB tahun 2007, Danang Ambar Prabowo “Tulislah mimpi anda secara nyata, jangan tulis dalam ingatan saja, karena pasti anda akan lupa” suatu hal yang sangat sederhana, sederhana sekali, hanya membutuhkan secarik kertas, pulpen dan sedikit pemikiran dewasa untuk melakukannya. Walau mungkin nanti hanya sebatas gimmick dan dalam eksekusi resolusi impian tersebut hanya menjadi formalitas semata, tapi saya yakin akan bisa mengobati sedikit kebimbangan yang membelenggu hati bukan? Setidaknya sudah sedikit lebih jelas apa yang akan dilakukan di masa ini dan di masa yang akan datang.
          Yang terpenting dan tentunya krusial adalah modifikasi penggunaan waktu, agar waktu yang digunakan tidak hanya digunakan untuk nge-stalk social media jodoh impian di masa depan, berselancar dengan asyiknya pada sebuah gadget kotak yang diam, atau mantengin keseruan komentator-komentator ulung dalam sebuah postingan yang viral, pernah (?) Atau sering (?), menjadi bias memang jika waktu yang dijalani tidak dapat digunakan dengan sebaik mungkin, apalagi ketika sadar jika waktu yang digunakan dua tahun kebelakang itu terkesan sia-sia, atau memang sia-sia? Ya ngga lah, canda-canda, heuheu. Secepat dan sesadar mungkin perlu untuk mengevaluasi diri terhadap penggunaan waktu, kemudian memodifikasinya dan terpenting adalah aktualisasi diri terhadap waktu tersebut agar waktu yang digunakan bisa lebih bermanfaat lagi, tidak mubazir dan sia-sia. jangan menunggu ataupun menunda karena menunggu itu melelahkan, ngga deng, canda lagi, heuheu. Mulai belajar untuk memprioritaskan hal-hal yang tidak mendesak dan juga penting, membedakan kebutuhan serta keinginan, mencatat hal yang akan dilakukan dan capaian dalam 24 jam kehidupan. Akan sulit memang pada awalnya, terlebih pada prosesnya nanti akan banyak liku atau bahkan pilu.
Sedini dan semaksimal mungkin pada diri kita perlu ditanamkan sebuah mindset mendasar tentang satuan waktu, bahwa waktu yang berlaku pasti akan berlalu, menjadi memori dan pengalaman berharga  ataupun sebaliknya. Tinggal pilihannya ada pada diri kita sendiri, siapkah kita mendekretkan diri untuk mulai menggunakan waktu dengan baik dan juga bijak?, atau tetap menggunakan waktu dengan sia-sia seperti tahun-tahun sebelumnya dan berakhir pada sebuah penyesalan? Mari bersyukur bahwa Allah SWT masih memberikan kita kesempatan untuk bisa memperbaiki itu semua.

“bila kemarin hanya berlalu bagai angin berhembus, selalu begitu, apa hari ini aku masih merugi? Jangan lagi” (Kutipan Lagu Seujung Jari oleh Shaffix)

Ibnu Dharma,
Mahasiswa Brawijaya yang merasa tampan bila difoto dalam perspektif yang menguntungkan.

Kamis, 10 Agustus 2017

Tapak Pengabdian

         
         
       
Mengawali tahun 2016, saya diberi kesempatan untuk bisa merasakan banyak sekali perjalanan dalam menempuh pelajaran di bangku Pendidikan. Eits, tapi ini bukan hanya tentang perjalanan saya, ini tentang perjalanan aku, kamu, kamu lagi dan mereka (Siswa-siswi SDn 03 Ngabab dan Mi Miftahul Ulum). Yaps, kesempatan menjadi seorang pengajar merupakan kesempatan yang jujur luarbiasa sekali, jauh dari ekspektasi atau bahkan mungkin tidak pernah saya ekspektasikan sebelumnya.

Untuk memulai menjadi pengajar di Brawijaya Mengajar sebenarnya ada dua jalur, yang pertama adalah harus menjadi staff Eksekutif Mahasiswa EM UB, dan yang kedua yaitu menjadi Volunteer Pengajar, sebenarnya sama saja, yang membedakan hanya tugasnya, jika staff mengurus masalah internal serta eksternal dalam Brawijaya Mengajar, sedangkan Volunteer hanya pada bagian pengajaran, penyususunan RPP. Oke pertama-tama singkirkan stratifikasi social seperti ini, karena bagi saya Brawijaya Mengajar itu ya mahasiswa Brawijaya yang mengajar, EM maupun Volunteer dan lain sebagainya tidak menjadi masalah, yang terpenting niat dalam hati yang ditunjukan dengan aksi nyata di kamis malam dan sabtu pagi (hayo masih pada ingat? Hehe). saya sendiri mendaftar menjadi staff EM UB karena pada saat itu sudah open recruitment duluan, jadi saya kira kesempatan harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin, selanjutnya saya siapkan segala macamnya untuk bisa lolos tahap interview, latihan di depan webcam, stalking semua social media BM, bahkan stalking yang sering stalking BM (semacam perlombaan sudah sejauh mana teman saya mengenal BM, hehe). kemudian interview dan alhamdullilah diberikan kesempatan untuk belajar disini, di tempat yang selalu memberikan cerita unik di setiap sabtunya. Hari pertama mengajar? Bagaimana?

Hari itu menjadi hari yang tidak biasa, ku matikan nada alarm yang memekakan telingaku dan mungkin telinga di kamar sebelahku, aku pun bersiap untuk beranjak pergi ke kampusku kampus brawijaya, jujur tidak biasa karena hari itu adalah hari libur hari sabtu, yang dimana kebanyakan mahasiswa menggunakannya untuk mengerjakan tugas atau mungkin beristirahat dari penatnya laporan mingguan. Hehe. pada hari itu SDn 03 Ngabab sedang libur sehingga pengajaran dialihkan ke MI Miftahul Ulum, kemudian kami pun berangkat menuju titik pengabdian, Dekat? Tidak, Jauh? Banget. Waktu yang ditempuh dari brawijaya ke MI Miftahul Ulum sekitar 1 jam, rasanya seperti berkendara dari Kuningan ke Cirebon, hehe. sampai disana kami disambut dengan riangnya siswa-siswi MI Miftahul Ulum, ada yang manis nyatanya bengis, lari ke sana- ke sini, memanjat pagar, memanjat harapan yang tidak pernah tercapai juga ada, -_-“, singkat cerita, setiap pengajar di plotting ke setiap kelas, dan saya kebagian di kelas 4, tidak banyak yang saya ingat di pengajaran pada hari itu, yang paling saya ingat yaitu bermain Indonesia Pintar dengan teman-teman pengajar di sela waktu istirahat, bersama ka Wildan, ka Subhan, ka Gery, ka Ilham, Kaka-ka yang selalu saya sebut sebagai sesepuh BM, haha. hari itu menjadi pengajaran pertama saya setelah kurang lebih 3 tahun saya tidak pernah mengajar lagi.

Tahun 2016, Tahun Keajaiban, terdengar Lebay, tapi memang seperti itu pada kenyatannya, meluangkan waktu di kamis malam untuk briefing, sabtu pagi hingga siang untuk mengajar, bersenda gurau dalam seriusnya sebuah rapat (zaman itu saya masih cukup lucu, hehe), menjadi admin di Social Media BM, membuat Report pengajaran setiap mingggunya, dan masih banyak lagi kenangan yang tidak bisa saya tuliskan satu persatu disini. terimakasih untuk mas Medi (Ketua BM Ank. IV) yang telah memberikan saya kesempatan untuk bisa belajar disini, di keluarga kedua dalam perantauan ini, untuk mba Titi (Wakil Ketua BM) yang selalu peduli dalam senyap, untuk mas Ipul dan Inggit yang telah menjadi partner selama di Infokom BM, untuk Dayat dan Dian Wulan yang selalu semangat dalam menangani Ekskul, untuk Ummi yang menjadi boncengan pertama saya mengajar, untuk Avuan yang selalu saya ingat kegaringannya dalam berkomedi, untuk Mas Alif yang selalu memimpin rapat dalam bahasa Inggris dan Arab, untuk Yusdar dan Enta yang selalu Stay Cool dalam setiap rapat, untuk Mba Sarah dan Mba Ayun yang selalu punya kegiatan untuk BM, untuk Dhiya Husna sang sekretaris yang super sekali, untuk Arin, rekan bercerita di pengajaran awal, untuk Deyla dan Safira yang cukup rempong kalo ada anak yang bandel, untuk Eka yang punya ketawa paling keras kalo saya ngelucu, untuk Ka Afifah Salsabila, kaka ter tidak jelas di Brawijaya Mengajar, yang sok jutek di awal perkenalan, untuk mas Subhan, mas Wildan, mas Ilham dan mas Gery yang menjadi guru dalam manisnya pengabdian dan untuk Staff Muda dan juga Volunteer yang telah menjadi bagian dari Rumah ini, maaf tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.

Pada akhirnya satu tahun itu menjadi tahun yang sangat berharga bagiku, menjalani hari sabtu dengan kegiatan pengajaran telah sedikit membuka paradigmaku terhadap dunia pengajaran, bahwa menjadi pengajar tidak melulu soal mengajar, tapi lebih dari itu kita juga bisa belajar dari mereka anak-anak Sekolahh Dasar, dari semangat yang  selalu terpatri dalam senyumannya. Menjadi pengajar juga bukanlah tentang sebuah eksistensi, tapi ini tentang keikhlasan, cinta dan kasih sayang dalam pengabdian. Ya waktu itu mungkin telah berakhir tapi kenangan, pelajaran, dan canda tawa itu jelas akan selalu terukir dalam memoar diriku dalam sanubari jiwaku, dan ini adalah tapak pengabdianku dan juga kita, yang akan selalu dikenang dan mengenang. Terimakasih satu tahun itu, senang bisa mengenal kalian. Pengajar Brawijaya Mengajar Angkatan IV.

Note : Tulisan ini telah di posting sebelumnya di Website Brawijaya Mengajar. Klik Disini untuk Melihat Lebih

Sabtu, 15 Juli 2017

Seorang Pembelajar

          Tulisan kali ini sebenernya ngga penting-penting amat, ya apalagi kalo bukan ngebahas diri saya sendiri, lebih tepatnya bio terbaru line saya, yeah akhirnya punya bio -_-“ ya ngga penting kan? Wkwk. oke tulisan ini murni tulisan untuk diri saya sendiri, dan mungkin untuk beberapa orang yang memiliki pemahaman yang sama seperti saya. Semasa kecil lebih tepatnya ketika SD saya selalu mendefinisikan belajar itu ialah sebuah proses transfer ilmu di dalam kelas, dari seorang guru kepada siswa-siswi nya, adapun ketika libur telah tiba, kata belajar selalu masuk dalam pengumuman di Toa sekolah, kira-kira gini bunyinya “Anak-anak besok libur, jangan lupa belajar di rumah ya” jelas kata belajar disini diartikan sebagai sebuah pergantian tempat transfer ilmu yang tadinya ada di sekolah di pindah ke rumah, selalu seperti itu. Namun seiring bertambahnya usia, kata belajar pun mulai mengalami peluasan makna, yang tadinya hanya berupa membaca buku, mengerjakan PR atau berfikir kini berubah menjadi lebih luas lagi. Menurut Thursan Hakim “belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan lain-lain kemampuan” kalo ditarik benang merahnya belajar itu adalah sebuah proses untuk membentuk pribadi yang lebih baik lagi, dari segala aspek, bukan hanya aspek kognitif aja, tapi juga afektif dan juga psikomotoriknya.

          Seorang Pembelajar, dari dua kata ini sebenernya bisa langsung di simpulin sih bahwa sang penulis ini lagi belajar, nah loh bukannya setiap orang itu belajar? Emangnya lo aja be? Eh, be itu apaan?  Yaps betul, dibilang saya lagi pencitraan aja wkwk, hmm, sebenernya dari dua kata itu saya berharap  bisa menjadi pengingat bagi saya untuk terus belajar, apapun itu, dimanapun itu dan dengan siapapun itu. sering mungkin kita atau saya merasa diri hebat dalam bidang tertentu, kemudian kita berubah meenjadi anti kritik, menyombongkan diri kepada siapapun yang hendak bertanya kepada kita, enggan berdiskusi karena dirasa sudah berada pada level naga dan ga perlu diskusi lagi katanya. Hayo? Sejujurnya saya pernah berada posisi yang sok hebat itu, dan mungkin sampai sekarang. (oke sedang berbenah, bukan benah rumah, eh bedah -__-), terus apa hubungannya be sama belajar? Orang-orang yang demikian sepertinya lupa belajar untuk mendengar, mendengar teman-teman disekitarnya, diajak diskusi dikira ingin pamer unjuk gigi, ada yang kritik dibilang tidak menghargai padahal siapa tau dari kritikan tersebut adalah tangga awal untuk menjadi lebih baik lagi, saya pernah berada pada posisi itu seolah menjadi paling benar dan tutup telinga mulut terbuka terhadap saran yang ada. Pernah suatu ketika saya berdiskusi dengan teman saya tentang sebuah kegiatan dalam suatu organisasi, disetiap kalimat yang teman saya sarankan kadang saya potong karena pada saat itu saya merasa yang paling benar dan rasional, adapun ketika saya terdiam sebenarnya dalam hati saya sedang menunggu untuk kemudian berpendapat dan membantah argumennya, yang saya akui ketika itu adalah apabila argument saya yang dipakai maka saya yang menang, maka kegiatannya akan sukses, saya lupa belajar untuk mendengar, padahal untuk menjadi pembicara yang baik terlebih dahulu harus bisa menjadi pendengar yang baik bukan? Ayo belajar untuk mendengar, karena sebenernya orang itu lebih suka loh untuk didengar pendapatnya :)

          Yang ini yang cukup penting adalah belajar untuk menilai dan memahami. kadangkali dan mungkin masih sering seseorang mendeskripsikan orang lainnya hanya berdasar kegiatan-kegiatan kecil, seperti menilai dari kegiatannya di social media atau mungkin menilai dari panjang, cepatnya balas chat di facebook?? Hmm, saya pernah kaya gitu, wkwk -_- lalu kita kategorikan orang tersebut adalah orang yang cuek, yang enggan di ganggu, padahal siapa tau nih dia lagi main sama temen-temennya, atau mungkin sedang membantu orang tua? Pernah juga suatu ketika saya sedang memimpin sebuah rapat kemudian ada anggota yang tidak hadir, tanpa alasan, kemudian dalam benak saya pikir dia malas untuk rapat, padahal setelah di konfirmasi ternyata sedang tidak enak badan, dan sedang tidak membuka hape, itu semua karena saya terlalu mudah menilai seseorang hanya dalam satu kejadian, tanpa memikirkan kejadian-kejadian yang lain yang saya tidak ketahui. Padahal seharusnya saya tabayyunkan dulu, konfirmasi dulu sebelum membuat dugaan-dugaan yang ga semestinya ada.

          Karena sejatinya kita ditakdirkan untuk menjadi pembelajar di kehidupan ini, semua detik yang kita lalui merupakan pembelajaran, bukannya sebagian dari kita sering berkata “pasti ada hikmah dibalik kejadian ini” tanpa disadari kita sedang mencari pembelajaran atas sebuah kejadian. Dan pada akhirnya yang yang terbaik adalah orang yang mau diperbaiki, orang yang bisa belajar atas sebuah kejadian, berbenah dan menjadi lebih baik lagi, jangan pernah merasa pintar dan mari belajar untuk menjadi seorang pembelajar  :)

Saya membagi dunia menjadi dua: pembelajar dan bukan pembelajar. Ada orang-orang yang belajar, yang terbuka dengan kejadian di sekelilingnya, yang mendengar, yang mendengarkan saran-saran. Bila mereka melakukan sesuatu yang bodoh, mereka tidak akan melakukannya lagi. Dan bila mereka melakukan sesuatu yang agak berhasil, mereka bahkan akan melakukannya lebih baik dan lebih keras selanjutnya. Pertanyaan yang harus diajukan bukanlah apakah anda sukses atau gagal, tapi apakah anda pembelajar atau bukan-pembelajar? -Benjamin Barber-


(tulisan ini dibuat karena penulis juga sedang belajar untuk menulis)

Minggu, 02 April 2017

Deklarasi Satu Empat




   Sebelum menyampaikan curhatan terkeren saya pada kali ini, izinkan saya untuk terlebih dahulu mengucapkan selamat kepada kota Malang, karena pada hari ini tanggal satu bulan empat kota Malang telah memasuki umur tuanya yang ke-51, semoga menjadi kota yang lebih baik lagi, kota yang mempriotaskan kejombloan di atas hubungan yang belum syar’I, kota yang memprioritaskan kecerdasan dan semangat di atas para kepentingan keturunan kaum monarki atau sejenisnya, kota yang mempriotaskan kebahagian warganya dibanding kemajuan infrastukturnya, hehe. terimakasih atas 2 tahun kebelakang itu, banyak kenangan dan berjuta impian yang menetap tanpa ragu di sanubari ini. J

Oke, sebenanrnya tulisan pertama saya pada tahun ini dimotivatori oleh dua hal, yang pertama adalah dari buku yang sempat saya baca kemarin yaitu buku karya M.Sanusi berjudul “Meneladani Jam-Jam Nabi dalam Beribadah dan Bekerja”, kata ‘sempat’ disini bukan berarti saya terlalu sibuk dengan urusan saya sendiri sehingga tidak bisa membaca sebuah buku, tapi lebih kepada saya emang malas baca buku. oke, motivasi yang kedua ini didapat dari teman saya yang ternyata sudah mulai aktif lagi menulis opininya, yang kalo saya stalk mungkin sudah vacum terlalu lama dalam hal menulis, jadi dari dua hal itu saya mencoba memulai sesuatu yangl baru dalam hidup saya yang mungkin ke depan akan sulit dan sedikit dibumbui hal-hal aneh yang saya pun belum terbayang bagaimana jadinya, apa sih hal yang baru itu? Pasti ga kepo, hmm

Sebelumnya apa sih yang terlintas sejenak dalam fikiran kita ketika mendengar kata deklarasi, mungkin kebanyakan akan dikait-kaitkan dengan history atau sejarah Indonesia seperti deklarasi Djuanda, deklarasi Rengasdengklok ataupun deklarasi-deklarasi history lainnya. Kata Deklarasi sendiri menurut kamus bahasa Indonesia memiliki arti Pernyataan ringkas dan singkat . tapi walaupun ringkas dan singkat dari deklarasi ini nantinya akan dijadikan sikap atau acuan untuk melakukan sesuatu kedepan dari hasil kesepakatan yang emang udah disepakatin. Dan untuk satu empat sebenernya itu merupakan tanggal dan bulan pada hari ini yaitu tanggal 01 April. Jadi kalo bisa sedikit disimpulan deklarasi satu empat ini adalah sebuah pernyataan dari diri saya sendiri secara sadar penuh ekspektasi dan juga keyakinan untuk memulai titik yang baru tanpa melupakan titik-titik sebelumnya yang insha allah akan dimulai pada hari ini, tanggal ini, dan bulan ini. Mumpung moment emang pas sama ulang tahun Malang sih, wkw

Melalui deklarasi satu empat ini saya menyatakan diri bahwa pada titik baru ini ada banyak sekali hal yang harus saya lakukan, dan ada banyak pula hal yang harus saya tinggalkan, tapi yang jelas adalah untuk kebaikan ke depan. Mungkin akan banyak yang berguman dalam hati “ah ekspektasi doank” “pencitraan paling” “paling cuman bertahan 4 hari doank” atau mungkin pemikiran-pemikaran negatif lainnya, saya katakan saya peduli terhadap pemikiran-pemikiran itu, dan jujur saya lebih membutuhkan cambukan motivasi dari teman-teman pembaca sekalian. Hmm akhir kata, titik baru ini adalah titik resolusi, resolusiku untuk melakukan hal positif yang jauh lebih banyak daripada sebelumnya seperti membuat tulisan, membaca sebuah buku, berinteraksi dengan berbagai kalangan, beribadah lebih giat dan baik lagi, dan banyak, banyak sekali hal yang emang harus dilakukan,

Tulisan ini sebenernya bukan hanya sebagai ajang pencitraan saja, tetapi pula adalah hasil instrospeksi diri tentang makna hidup yang telah saya arungi dan jalani selama 20 tahun hidup di dunia ini, dan jujur memang banyak hal yang harus ditinggalkan, banyak sekali. Yang harus dilakukan? Juga banyak sekali. Mungkin tidak akan terlaksana semuanya tapi setidaknya saya sudah berani untuk merencanakan, saya sudah berani untuk bermimpi.

Mari sama-sama bergandengan tangan keluar dari zona nyaman kita, zona nyaman yang acapkali membutakan mata, membisukan mulut atau mentulikan telinga? Zona nyaman yang karenanya kita jadi berleha-leha atau bahkan meremahkan esensi kita dihidupkan di dunia ini, mari mulai berubah, mari mulai melakukan liarnya ekskpektasi, mari mulai bermimpi, mari mulai membuat resolusi, karena dengan itu kita bisa mengetahu arah gerak kita kedepan, karena dengan itu kita akan terencana dan terpenting mari mulai BERAKSI. Bismillah #GO2017

“Usaha dan keberanian tidak cukup tanpa tujuan dan arah perencanaan” (John F. Kennedy)