Senin, 30 April 2018

Digimon dan Tipuan

Karena alesan kurang kerjaan, saya iseng-iseng scrolling beranda di facebook dan nemuin satu postingan viral dengan kesan yang mendalam, postingan ini bukan tentang kenestapaan seorang jomblo yang hidupnya sendiri dan sering dikhianati. Bukan juga tentang curhatan-curhatan payah para pesimisme, apalagi video tik-toknya ABG zaman now; bukan. Selain jadi ajang kontemplasi, postingan ini juga bisa membawa pikiran pembacanya kembali ke era 90-an, dimana layang-layang yang dikejar, gangsing yang diputar, dan dua kertas yang di adu jotoskan. Juga dapat dicermini lalu diambil sudut presisinya,  versi saya ini disebut extra ordinary kontemplasi. Anjay.

Saya yakini, kita yang kecil dahulu (2000-an) adalah manusia-manusia lugu, yang mengikuti sekuel hidup dengan basis hidupnya orang lain. Buktinya? Permainan tamiya tempo 90-an begitu hits di seantero pertiwi, gangsing, crush gear, dll. Eksistensi kita akan diakui ketika berada pada posisi sama, atau dalam hal lain adalah posisi lebih keren sehingga membuat pongah akan bentuk, kuantitas maupun harga mainan itu dan lalu munculah komplimen-komplimen tabu versi anak-anak. 

Makannya ngga heran kalo “dulu” anak-anak cowo sehabis disunat selalu ingin beli mainan yang bejibun, selain karena alesan eksistensi tadi akan lebih keren jika dipamerkan ke anak-anak lain yang belum beli = belum disunat, kemudian akan timbul semangat sunat pada jiwa sanubari mereka. Anjay.

Kalo diingat emang banyak banget mainan yang udah saya beli, yang kebanyakan malah ngga kepake dalam beberapa hari setelahnya. Ada yang dari pinggir jalan, pedagang keliling atau juga mall yang harganya bisa nyampe 100 ribuan. Saya jadi kepikiran gimana kalo saya versi dulu udah punya pemikiran yang cukup dewasa, mungkin saya akan bilang sama orang tua saya daripada dibeliin mainan lebih baik ditabung uangnya buat biaya kuliah nanti, mungkin juga saya akan bilang untuk ganti channel power rangers jadi channelnya Karni Ilyas di Indonesia lawyers club.

Salah satu mainan yang cukup berkesan bagi saya adalah mainan dibawah ini, bentuknya berupa buku dengan ukuran A4 sekitar 10 halaman, cover depannya agak tebal berwarna-warni dan dipenuhi berbagai macam spesies digimon, di dalam bukunya hanya ada kertas biasa yang ngga ada apa-apa alias kosong. Ini bukan buku gambar, juga bukan buku death note yang kalopun ada pasti para jomblo akan sangat girang. Ini semacam buku ekspedisi para penjelajah uang Rp.500-an, yang menyasar anak-anak dengan uang jajan minimal Rp.1.000/ hari. Para pemilik buku ini diberikan tanggung jawab yang cukup besar, yaitu mengumpulkan seluruh sticker spesies digimon dari awal hingga ke tahap evolusinya. Jika dikumulatifkan mungkin sampe 100-an lebih spesies digimon, dan karena faktor randomisasi, digimon-digimon ini sulit untuk didapatkan.
Mainan tempo kecil dulu, kalo ngga salah pas kelas 4 SD
Bayangkan aja, sang pemilik harus mengeluarkan uang Rp.500-an untuk beli 3 sticker yang acak, jadi kalo pada kesempatan kedua ada sticker yang sama kemungkinan besar akan ditukar, atau mungkin bisa juga dijual kembali ke orang lain yang membutuhkan. Kalo udah komplit, bisa ditukar jadi gangsing, tamiya atau mainan lainnya seharga Rp.10.000-an. Saya baru tahu minggu-minggu ini kalo saya kena tipu, andai kata saya memilih untuk menabung dibanding mengkoleksi sticker digimon tadi mungkin saya bisa beli 3-4 gangsing, bisa juga beli gorengan selama 1 bulan.

Anak kecil dan orang dewasa
Anak-anak adalah segala objek penipuan kelas teri bahkan hingga kelas kakap kalo kasusnya kaya penculikan, atau juga pemerkosaan. Hal ini terjadi karena pola pikir mereka yang standar dan masih polos, lebih polos daripada kaos oblong. Makannya zaman saya dulu juga kalo ada sepatu yang berhadiah mainan selalu banjir orderan, disatu sisi karena eksistensi dan pamer sedangkan disisi lain adalah penipuan maya si penjual, padahal mah sepatu dan mainannya juga cepat rusak dalam beberapa minggu. 

Unsur tau bahwa kita ditipu adalah kuadran waktu setelahnya, baik secara temporal ataupun tiba-tiba. Hal ini membuktikan juga pada fasenya setiap pikiran kita akan melahirkan suatu yang disebut kebenaran dengan basis data dan basis nyata. Sehingga doktrin postulat sebelumnya bisa kita patahkan dengan mudah. Seperti kilas balik yang mengantarkan pada suatu hal positif. Mungkin wajar jika tipuan ini terjadi pada anak-anak dengan kepolosannya tadi, tapi apa masih wajar jika terjadi pada orang dewasa dengan pemikirannya yang “katanya” dewasa pula? Akan aneh sih kalo penipuan ini justru terjadi pada orang-orang tersebut, yang nyatanya malah terjadi; Skema ponzinya first travel, beras plastik, telur palsu, dll. Lucu.

Otak manusia memang terbiasa untuk tidak tertarik pada fakta-fakta kecil yang dinilainya biasa, sehingga kebohongan mudah sekali diserap oleh otak. Salah satu penjelasannya karena manusia emang dibiasakan untuk kikir secara mental, mempercayai intuisi dibandingkan dengan analisa; tidak referal, meyakini persepsi mainstream yang divisualisasikan pada eksistensi yang menurutnya benar; delusi. Saya belum tahu juga apakah hal ini masih terjadi pada kita yang katanya “dewasa”. Atau masih percaya pada mitos bumi dengan bentuk datarnya? Ntah. Jadi sederhananya dapat kita katakan bahwa anak-anak dan orang dewasa sama aja kalo kena tipu, yang beda hanya skala dan pangsanya saja. Kalo dulu digimon, sekarang ponzimon. Eleuh, eleuh.

Dalam langkah preventif, ada banyak hal yang bisa dilakukan seperti menambah literasi yang diiterasikan dengan penuh pembaharuan, melebarkan sayap perspektif, juga sedikit demi sedikit untuk berfikir ala dialektika.

Dan temporal waktulah yang akan menjawab, apa kita yang saat ini benar akan merasa benar juga dikemudian hari. Dan, distansi spasial lah yang akan membuktikan, apa pada tempat yang kita yakini tepat akan juga tepat di tempat lain berikutnya. Ntah, toh saya pun baru tau saya ditipu 10 tahun setelahnya. 

Malang
01/05/2018
Ibnu Dharma Nugraha

Share:

0 komentar:

Posting Komentar