Rabu, 28 Maret 2018

Berbeda Adalah Kita

Betapa beruntungnya saya bisa hidup berdampingan dengan banyak orang yang tidak memiliki kesamaan cara pandang, fikrah, atau lebih kuat lagi adalah idealisme. Faktanya, selama kita hidup selalu saja dihadapkan pada suatu hal yang disebut-sebut sebagai perbedaan. 

Menurut Lindgren (1980) perbedaan dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk variasi, baik pada aspek fisik maupun psikologis. Sedangkan menurut Gerry (1963) perbedaan dapat dikategorikan ke dalam lima bentuk yakni : 1. Perbedaan fisik 2. Perbedaan sosial 3. Perbedaan kepribadian (watak, motif, minat) 4. Perbedaan inteligensi dan kemampuan dasar, dan terakhir adalah 5. Perbedaan kepandaian di sekolah. 


Dari zaman nobita masih SD sampai nobita tetap SD, ke-5 perbedaan tersebut sudah menjadi hal yang lumrah untuk kita temui juga jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Satu-satunya yang ngga lumrah mungkin adalah cara kita menyikapi dan sudut justifikasinya.

Dunia perkuliahan lagi-lagi menjadi gerbang yang besar untuk memulai dan membentuk hal-hal baru bagi si pembelajar dengan niat mengubahnya, seperti teori big bang yang menjelaskan bahwa bumi terbentuk akibat gumpalan raksasa yang meledak dan jadilah nebula-nebula serta galaksi, atau juga spiderman yang terbentuk akibat study tour nya ke museum, lalu digigit laba-laba radioaktif. Maka, kehidupan kuliah yang syarat akan kompleksitas mungkin saja bisa jadi teori baru bagi mereka yang merasa diubah pada kondisi ini. Umumnya adalah mengenai sikap menghadapi perbedaan yang sering dan selalu di temui. 

Beberapa akan mengasumsikan dalam sikap yang positif, beberapa lagi akan tetap kekeuh pada pendiriannya. Secara historis dari zaman sesepuh-sesepuh mahasiswa pendahulu, dan sampai saat ini terus menjadi stigma yang sulit untuk dipatahkan adalah cara pandang menghadapi diferensiasi orientasi dalam menjalani kehidupan perkuliahan. Sebut saja di dalam kata Mahasiswa tersirat erat kehidupan yang berbeda, ada yang jadi aktivis kehidupan, yang tiap malam kalo ada kerja kelompok selalu berhalangan hadir lalu minta tugas atau bagiannya supaya bisa dikerjain pas waktu senggang. Ada lagi, yang jadi mahasiswa study oriented, apapun permasalahan bangsa yang sedang viral dan hits di social media mereka acuhkan, lalu kembali fokus belajar agar dapat IPK 4, lulus cepat dan bisa berkontribusi ketika lulus nantinya. Ada lagi nih, yang fokusnya pada prestasi juga prestise, apapun perlombaan yang ada, gratis atau sampai mengeluarkan lembaran-lembaran uang berwarna merah, bahkan kalo dana dari rektorat cairnya dikit selalu diupayakan untuk tetep ikut.

Berbeda adalah suatu kenyataan yang tidak akan bisa kita patahkan keeksistensiaanya. Selama 3 tahun kuliah di Malang, metamorfosa cara pandang menjadi value yang selalu saya syukuri dalam kehidupan perkuliahan ini. Dimulai pada tahun pertama, sifat egosentris dan merasa benar adalah pondasi dalam berprinsip. Ego yang besar ditambah dangkalnya menghadapi diferensiasi adalah karakter khas yang mungkin beberapa orang kenal dari saya, yang jika sedikit saja ada orang yang berbeda pendapat lalu secara instan, gamblang secepat kilat dikelompokan pada hal-hal yang bersifat galat, fatal, dan gagal. 

Rhenald Kasali (2014) dalam bukunya yang berjudul Self Driving, mengatakan sifat ini disebut sebagai sifat egosentrisme yaitu manusia yang menyakitkan orang lain, hanya bisa menjadi manusia yang kritis pada orang-orang yang berfikiran sama dengannya dan merasa senang bila dikelilingi oleh orang-orang yang bisa memberikan pembenaran-pembenaran terhadap langkah-langkah yang menguntungkan dirinya, namun bersikap sinis pada mereka yang berbeda dan tidak sesuai dengan pendapatnya. Pernah?

Berbeda Adalah Kita
Adanya perbedaan juga akan menghasilkan output lulusan yang berbeda sehingga tidak monoton dan homogen. Aktivis mahasiswa akan melanjutkan eskalasi pemerintahan dengan mengimplementasikan kajian-kajian publiknya ke dalam elemen-elemen masyarakat melalui skema perpolitikan. Mahasiswa study oriented¸ akan melanjutkan studinya ke jenjang lebih tinggi lalu lahirlah professor-profesor yang memiliki kompetensi pada zamannya nanti. Mahasiswa berprestasi akan membuktikan hasil prestasinya kepada masyarakat yang luas, juga demikian dengan kehidupan mahasiswa lainnya, sehingga terjadilah life balancing di sektor-sektor negeri yang sedang krusial, tidak satu profesi namun majemuk dan penuh dengan keberagaman, semoga saja demikian.

Fenomena merasa benar di dalam segala hal akhir-akhir ini membuat sesak, penat dan juga pusing. Gibran Huzaifah dalam blog pribadinya mengatakan bahwa orang-orang seperti ini, saat baru tahu sedikit, berhenti untuk mencari tahu lebih. Mereka tersangkut di satu titik puncak kepercayaan diri berlebih, sekaligus titik pemahaman yang minim. 

Oleh karena itu menurut andil saya, mencari perspektif itu janganlah berkutat hanya pada satu titik. Berpetualanglah, berkelanalah, carilah titik-titik lainnya yang berbeda dan menyudutkan cara pandang kita, jika perlu cari yang bersifat antagonistis, lalu kaitkan pada pembenaran versi masing-masing, apa sudah relevan atau kemudian terjerembab dalam jebakan semu pembenaran, agar lebih tersadar bahwa panorama tidak hanya dapat dilihat dalam satu bentuk vista, agar belajar untuk bersikap secara komprehensif. Intinya sih, karena berbeda adalah kita mari belajar untuk menghargai prinsip orang lain. 


Toh, bukannya setiap manusia memiliki jalur tangannya masing-masing? kalo ngga percaya, coba liat telapak tangan temannya. 

Malang
28/03/2018
Ibnu Dharma Nugraha