Senin, 25 September 2017

Tidak Mudah


Beberapa hari yang lalu saya memberanikan diri untuk menjadi Sales Marketing prematur pada salah satu usaha yang sedang saya geluti. Sebabnya lagi-lagi adalah karena melihat beberapa resolusi yang telah saya lesatkan pada kertas bingkai keburaman. Walaupun prematur, bukan berarti tanpa perencanaan serta persiapan. Diawal bahkan saya sempat membeli serta membaca buku terkait marketing yang ditulis oleh Mr. Kokon, menonton beberapa video suksesnya para Sales Marketing, juga membuat tatanan rencana Business Model Canvas termasuk plot Customers Segment yang akan saya sasar baik itu pada lingkup Demographic, Geographic, Pschographic maupun Behaviour. Sangat terstruktur dan tertata dari hulu hingga hilirnya.
Alhasil. hal yang harus saya lakukan pada versi alpha produk adalah menjual dengan tepat kepada Customers Segment yang telah dihipotesiskan. Tujuannya adalah untuk menguji apakah produk yang saya buat sudah layak dan sesuai dengan keinginan pasar, evaluasi perbaikan dalam tatanan perencaaan serta kemungkinan untuk melakukan pivots produk. Perlu dimengerti bahwa hal yang dominan pertama kali sebelum pembuatan sistem pemasaran adalah penjualan, sebaik apapun produk yang kita punya, sehebat apapun ide kreatif yang terbesit dalam dogma. Tanpa penjualan yang maksimal dan sustain semua itu hanya bualan, kosong.
Sebagai tenaga penjual pemula, perencanaan yang maksimal dengan penuh pertimbangan memang suatu hal yang penting, namun pada sudut yang berbeda hal lain yang harus dilakukan adalah meyakinkan diri bahwa produk yang dijual sudah sesuai dengan spesifikasi dan kriteria pasar yang dituju. Walau hanya sebatas garis hipotesis tapi fungsi keyakinan pada awal pembentukan produk menjadi kunci penting dalam mengawali usaha/ bisnis. Jelasnya adalah sebelum meyakinkan orang lain untuk membeli produk kita, kita sendiri dulu lah yang seharusnya bisa yakin bahwa produk kita layak untuk dibeli, layak terjual.
Oleh karenanya seorang Sales Marketing harus punya kemampuan untuk bisa berkomunikasi  yang baik dengan calon pembeli, bahkan pada segmentasi yang berbeda sebut saja tempat, waktu, dan karakter orang yang ditemui. Sebuah proses menjadi value penting pada posisi  ini, tidak kemudian menjadi instan dan goal!! produk terjual, namun dilalui dengan penuh liku bahkan pilu. Seperti rasa malu pada awal peluncuran produk, kerugian hingga pahitnya sebuah kegagalan. Maka nikmatilah segala proses yang terjadi, percaya bahwa sebuah keberhasilan bukanlah suatu hal yang bisa diraih dengan cara yang instan, tapi melalui proses bekepanjangan dan berkelanjutan.

Tidak Mudah
          Menjadi seorang entrepreneur memang bukanlah sebuah perkara yang mudah, ketika kita mendekretkan diri untuk menjadi seorang entrepreneur maka secara tidak langsung pula mengartikan tindakan pada sebuah tantangan serta keyakinan pada prosesnya. Jatuh bangun membangun menjadi proses liku yang pasti dialami. Maka lagi-lagi saya katakan adalah menikmati dengan penuh hikmat pada proses yang terjadi nantinya dan yakin masih ada Allah SWT yang selalu menolong kita, pada kondisi apapun, pada siapapun.
Pengalaman menjual produk yang cukup berkesan bagi saya adalah beberapa hari yang lalu. Ya, dari sekitar 15 produk kripik pisang yang dibuat, saya hanya berhasil menjual 9 bungkus kripik pisang, sisanya dijual oleh teman saya. Pada proses penjualan kemarin saya mendapatkan pengalaman yang cukup berkesan dan menarik. Satu kesimpulan yang saya dapat adalah sebuah persepsi bahwa menjual serta meyakinkan produk kita kepada orang lain bukanlah suatu hal mudah, bahkan sulit sekali. Seringkali pada tahap promosi yang saya lakukan, berakhir pada kalimat penolakan, bahkan sering juga ditolak sebelum dipromosikan. Tapi, lagi-lagi saya tekankan dan yakin pada diri saya sendiri bahwa tidak ada keberhasilan yang diraih secara instan. Semuanya membutuhkan proses, ikhtiar juga kerja keras. Semoga Allah SWT memudahkan langkah saya dan teman-teman sekalian dalam meraih impian di masa depan. Amin Ya Rabbal Alamin



Ibnu Dharma Nugraha
Twitter : @_IbnuDharma

          

Minggu, 17 September 2017

Sok Ng-Akrab



Salah satu hal yang saya sukai ketika mentransisikan diri pada sebuah lingkungan yang baru adalah menemukan suasana yang baru pula, teman maupun karakter eksentrik yang unik dari mereka. Biasanya  sih hal yang saya lakukan pertama kali pada lingkungan tersebut adalah sebuah kegigihan untuk mengenal (Peng-Akraban), serta ketakutan kalo dikacangin. Entah ini merupakan genetik parsial bawaan dari ayah saya atau memang bawaan sifat alamiah semasa di Sekolah Dasar menjadikan saya masuk ke dalam pribadi extrovert, atau lebih jauh lagi adalah pribadi extra unique extrovert.
Jika dirincikan secara eksplisit lagi maka ada tiga tahapan yang biasanya saya lakukan pada fase Peng-Akraban ini ; pertama adalah menanyakan nama, kedua adalah kabar, dan ketiga adalah asal (Fakultas/ Universitas/ Daerah). Respond yang digambarkan jelas tidak akan sama dari satu sifat ke sifat lainnya maupun satu orang ke orang lainnya. Ada yang menanggapi dengan antusiasme dan kemudian membentuk sinergi  di dalamnya. Ada pula yang tersipu sapu karena malu. Atau bahkan menanggapi dengan ratapan sinis senyuman bengis.
 Untungnya adalah, dari impresi pertama yang digambarkan pada awal pertemuan tersebut saya bisa belajar  bagaimana membangun hubungan interaksi yang baik dengan mereka di waktu paruh lainnya. Perbedaan karakterisitik yang kentara tersebut juga membuat saya bisa berfikir dulu sebelum berbicara. Menimbang sebelum bertindak. Agar tidak menyakiti maupun menyinggung. Sehingga terkorelasilah diri saya dengan mereka dalam stigma positif yang membangun. Berteman hingga akhir hayat. Mengenang dan dikenang.
Impresi pertama menentukan tindakan-tindakan selanjutnya. Pada kasus Ng-Akrab ini jelas akan terjadi respond yang berbeda dari berbagai karakter. Pentingnya evaluasi dalam memposisikan adalah tindakan berikutnya yang harus dilakukan. Ketika berhadapan dengan satu karakter yang senang bersinergi maka langkah berikutnya adalah mempertahankan hubungan tersebut, lebih dari itu baiknya lagi adalah meningkatkan. Agar tetap nyaman dalam indah manisnya ukhuwah. Namun, lain ceritanya apabila respond yang dimunculkan adalah respond Negasi yakni keacuhan. Secara pribadi, menanggapi hal seperti ini adalah suatu hal yang sulit, bukan berarti tidak bisa dilakukan. Langkahnya adalah perlahan, sabar dan masif dalam membangun interaksi dengan karakter tersebut. Bukan hanya pada pertemuan pertama saja, tapi juga secara sustain dipertemuan-pertemuan selanjutnya.

Belajar Ng-Akrab
          Pada sebagian orang, Ng-Akrab di awal perjumpaan adalah suatu hal yang tabu. Tak jarang sebagian orang ini pula akan menginterpretasikan Ng-Akrab pada suatu hal yang menganggu dan aneh. Bahkan kadang diidentikan sebagai system modus dalam ajang pencarian jodoh impian masa depan, apalagi yang Ng-Akrab ini adalah seorang jomblo yang memiliki kehirarkian jomblo permanen. Bagi saya sendiri dengan melakukan Peng-Akraban maka masuk pula pada awal proses menanggalkan kepongahan dalam keegoisan. Menanggalkan diferensiasi nyata antara si A dan si B juga zona disintegrasi yang acapkali menjadi pemicu keretakan dalam hubungan pertemanan. Pentingnya Ng-Akrab di awal pertemuan juga dapat menjadi pemicu untuk bertemu di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Apalagi jika berada pada posisi mentor/ ketua di sebuah organisasi ataupun kepanitiaan. Menjadikan tempat yang asik dalam bercakap dan berkomunikasi. Dan akhirnya adalah keberlanjutan dalam hubungan, interaksi, maupun berteman. Jadi? Ayo belajar untuk Akrab.

Tulisan ini diterbitkan di selasar dengan beberapa penyesuaian
https://www.selasar.com/jurnal/38593/Belajar-Akrab )



Ibnu Dharma Nugraha
Twitter : @_IbnuDharma

Minggu, 10 September 2017

Fase Transisi

   Fase transisi merupakan fase yang membingungkan, dibenturkan pada sebuah kenyataan bahwa setiap insan dipaksa teralihkan dalam sebuah keadaan. Dengan tuntutan untuk mulai menanggalkan kelakuan yang ia biasakan. Berubah, diubah, bahkan mengubah. Si insan yang bijak akan memilih jalur transisi yang benar. Mengantarkannya pada roda kebaikan. Dipaksakan untuk keluar dari zonansi nyamannya. Lagi dan lagi, hingga terbiasa dan terbentuklah kebiasaan. Sebaliknya, si insan yang lena akan berjalan tetap tanpa pertimbangan. Mengacuhkan segala perubahan. Masuk pada jalur yamg sama bahkan tak luput dari kesalahan. Mengantarkannya pada sebuah kesamaran rasa nyaman. Terlena dilenakan hingga terbiasa dan terbentuklah kebiasaan.
Fase transisi : fase pendewasaan. Tak jarang, bentuk konkrit dewasa yang sebenarnya di awali pada fase ini. Jelasnya mengartikan fase ini bukan hanya tentang berkurangnya usia kehidupan, bukan pula tentang bertambahnya tinggi badan. Lebih dari itu adalah perubahan mindset untuk mendewasakan segala hal, sebut saja pemikiran, kelakuan, dan juga kebiasaan. Setiap insan yang masuk pada fase ini akan dihadapkan pada sebuah pilihan dua jalur perubahan. Tetap menetap dengan sikap dan pola pemikiran lamanya atau mentrasisikan diri pada sebuah kemungkinan untuk mulai mendewasakan. Masuk pada zonansi  aman yang nyaman atau belajar untuk keluar berhadapan dengan liku dan juga pilu proses kebaikan.
Fase transisi terkuat yang saya alami adalah ketika memasuki bangku perkuliahan. Diferensiasi ruang serta kegiatan mengharuskan saya untuk mengubah banyak hal ditambah lagi dengan ketiadaan sanak famili di Kota Malang tempat saya kuliah. Lalu dengan banyaknya sikap dan perilaku yang ditampilan mengkondisikan kehidupan kuliah yang syarat dengan kompleksitas, merangsang pemikiran untuk merubah kelakuan, dan mementokan kembali impian saya di masa yang akan datang. Jelas, untuk Menafikan diri pada kebiasaan lama adalah suatu hal yang rumit, merelakan kenyamanan digantikan dengan kepedihan adalah suatu hal yang sulit. Untuk berhasil pada fase transisi ini tidak bisa sendirian, perlu teman dan kawan untuk mendukung serta memotivasi. Maka, hal yang harus dilakukan di awal kuliah adalah dengan mencari kawan yang sejalan dengan pemikiran, seyakin dengan impian serta sekuat dalam proses kebaikan.
Ketika mentrasisikan diri pada sebuah keadaan bukan lampau. Sebuah permainan dan seperangkat aturan baru pun akan berlaku. Menarik energi mimpi dalam realisasi. Merenung sejenak untuk beraksi. Beberapa insan akan kuat dalam menjalani. Beberapa lagi akan mengalami kemorosotan semangat dan antusiasme lalu kembali pada rutinitas lama yang sama. Maka, untuk memberikan hasil yang permanen dan berjangka panjang adalah dengan mengingat, bahwa ada banyak impian yang harus direalisasikan. Ada kebaikan yang harus disalurkan serta ada kebermanfaatan yang harus dibangunkan. Maka Bentuklah kebiasaan dan kebiasaan itu akan membentukmu.

Tulisan ini diterbitkan di selasar dengan beberapa penyesuaian
(  https://www.selasar.com/jurnal/38529/Fase-Transisi )

Ibnu Dharma Nugraha
Tulisan ini terinspirasi dari inspiring story kawan saya yaitu Abdul Latif, FILKOM UB 2015.



Sabtu, 02 September 2017

Mempedulikan Kepedulian

Agaknya, memang saya adalah salah satu makhluk hidup yang ngenes dan juga beruntung. Masuk pada zaman dengan indeks kepekaan yang katanya rendah, dilanjut sedang kuliah di kota antah-brantah ditambah lagi ketiadaan sanak famili di kota ini cukup meyakinkan diri kalo saya adalah makhluk hidup yang ngenes. Beruntungnya, saya juga masuk pada era disrupsi, yang memaksakan diri untuk terus berlari, memantapkan hati untuk bisa mandiri, berinteraksi guna menambah relasi dan juga membangun ikatan ukhuwah dengan beberapa kerabat baru yang nyandu dalam konteks kebaikan. Sebagai makhluk sosial yang hobinya panjat sosial, saya sadar bahwa berhubungan dengan banyak orang dan banyak karakteristik di dalamnya adalah sebuah kewajiban untuk dilakukan serta tuntutan untuk direalisasikan. Apalagi jika sedang belajar di kota orang yang memiliki diferensiasi budaya dan karakter dengan kota asal. Oleh karenanya, Seseram apapun pemikiran saya tentang dunia luar, mau tidak mau, tahu tidak tahu, dan yakin tidak yakin. Saya harus memaksakan pemikiran untuk merubah kelakuan. Keluar untuk berinteraksi, Keluar untuk menghadirkan kepekaan.
Unik, aneh serta beruntungnya saya adalah berhasil membangun serta menjalin hubungan dengan beberapa orang di dalam kelas, kepanitiaan maupun organisasi yang saya ikuti. Beruntungnya lagi walau telah selesai dalam pertemuan ternyata tidak selesai dalam hubungan. Artinya, walau sudah lengser dari kepengurusan organisasi, ikatan-ikatan persahabatan itu tetap terjalin, walaupun hanya sebatas candaan receh dalam media online, atau komenan singkat dalam postingan Instagram. Benar-benar suatu yang membuat saya merasa nyaman ketika Bersama dengan mereka.
Namun akhir-akhir ini saya tersadar bahwa ada satu nilai yang saya lupakan dalam asyiknya persahabatan tersebut, nilai yang tersamarkan oleh rasa nyaman saya terhadap mereka. Itu tentang kepedulian, banyak ternyata kalo diingat teman-teman saya di perantauan ini yang peduli terhadap saya, menjadikan saya sebagai keluarga kedua mereka. Mulai dari meminjamkan uang, mengantarkan ke kosan, menanyakan kabar, mengingatkan untuk mengerjakan laporan, bahkan motivasi untuk terus berkarya di blog ini. Namun parahnya, tidak jarang respond yang saya berikan adalah sebuah kebiasaan untuk membiasakan. Menyederhanakan istimewanya kepedulian dengan menyepelekan. Biasa
Kita hidup dalam zaman yang berbeda dengan zaman ayah ibu kita dilahirkan, kepedulian saat ini adalah suatu hal yang kadangkali kita biasakan, bahkan mungkin disepelekan. Padahal adanya kepedulian lah yang membuat kita hidup. Tanpa pinjaman uang mana bisa kita makan? Tanpa motivasi mana bisa kita percaya dan yakin bahwa karya kita bagus? Saat ini adalah saatnya untuk mulai meninggalkan kepongahan diri dan beralih dalam bentuk mempedulikan. Mempedulikan kepedulian orang lain terhadap kita, teman, sahabat, kaka tingkat. Atau lebih besar dan lebih kuat lagi adalah mempedulikan semua orang di sekitar kita dan di dunia ini.



Ibnu Dharma Nugraha
Twitter : @_IbnuDharma