Selasa, 27 Februari 2018

Sisi Berbeda

Beberapa hari yang lalu saya selesai membaca sebuah buku berjudul “Memetik Matahari” yang ditulis oleh Agung Adiprasetyo, merupakan CEO dari Kompas Gramedia. Buku yang saya pinjam dari teman satu kamar saya cukup bisa membuka perspektif baru juga beda dari orang-orang lain yang saya kira memiliki nilai kebenaran hampir nol. Di satu sisi juga semakin dapat menguatkan bahwa saya masih sebesar biji zarah, perlu banyak belajar dari banyak orang, dari banyak perspektifnya dalam melihat dunia ini.  Dalam buku in, ada banyak kutipan yang saya dapatkan, beberapa memang menjadi favorit saya untuk diingat, selain untuk menambah pengetahuan lebih seru memang jika bisa di sebar kepada banyak orang lainnya apalagi kalo ditambah informasi “dari buku yang saya baca”, keliatan keren padahah mah kere.

“Setiap Manusia Memiliki Kebebasan untuk Memilih dari Sisi Mana Dia Melihat Dunia Ini” Menjadi salah satu kutipan yang akan saya selalu kenang juga ucap kalo ada kesempatakan untuk membeberkan fakta bahwa itu adalah sebuah kebenaran. Manusia adalah makhluk unik yang berakal, pada setiap pikiran dan pengetahuannya selalu berada pada sudut pandang yang membedakan. Contoh sederhana, jika kemudian kita bertanya kepada seorang pengemis bagaimana sisi ia melihat dunia, kemungkinan besar akan mengganggap bahwa dunia ini adalah tempat ketidakadilan strata sosial, selalu ada yang berada pada posisi atas yang kemudian kebanyakan tidak peduli pada sesamanya. Lain lagi jika kita bertanya pada seorang yang kaya raya, punya uang, banyak mobil, anaknya kuliah di luar negeri bahkan saking kayaknya sampe luar planet, gurunya alien dari film Alient : Covenant. Beberapa mungkin akan memandang dunia pada perspektif yang berlawanan dari pengemis tadi. Hal-hal tadi bukan lah suatu hal yang instan sehingga kemudian menjadi common pattern pada masing-masing otak kita. Semua yang kita katakan benar pada hari ini sebetulnya merupakan akumulasi perspektif pengetahuan, kejadian, pengalaman dari banyak hal yang telah dilewati selama hidup. Seorang professor dengan doktrin keilmu pengetahuannya, seorang pengusaha dengan doktrin harta yang diraihnya, seorang pejabat dengan doktrin jabatan dan kebermanfatannya, dan masih banyak lagi tentunya, tapi kemudian kenapa masing-masing individu memiliki sudut pandang yang berbeda? Kembali pada asal muasal manusia adalah makhluk ekstrensik yang berakal. Otak kita secara disadari ataupun tidak akan mengevaluasi perspektif yang ditangkap yang kemudian dipilah serta dipilih mana yang salah dan juga mana yang kita anggap berada pada suatu keabsahan. Tentunya, ini juga dapat dipengaruhi oleh banyak faktor dan musabab, seperti keluarga, teman juga lingkungan yang ditinggali. Selalu merasa benar tanpa membenarkan, tidak salah tapi menyalahkan. Pernah?

Semester 4 kuliah adalah semester yang menyatakan bahwa pemikiran saya sudah bermetamorfosis menjadi pemikiran yang ntah darimana asalnya selalu saya kaitkan pada sebuah kenyataan yang tervalidasi kebenarannya, melihat dan tahu bahwa orang lain memiliki pemikiran yang beda dengan saya, secara sadar mengelompokannya pada hal yang salah, galat juga gagal. Namun, seiring waktu dan ruang yang terus bergulir, banyak pula persepektif lain yang saya dapatkan, begitu kompleks, sekompleks memikirkan quarter life crisis yang pernah dialami, atau juga sekompleks memikirkan judul skripsi yang masih saya bingungkan hingga saat ini. Kalo kata buku “Memetik Matahari” yang saya baca sih gini “Apa pun profesi dan jalan hidup seseorang, selama dia bisa membuat apa yang dilakukannya bermanfaat dan memberi kontribusi yang baik bagi lingkungannya, maka selayaknya pilihan itu disebut sebagai profesi yang baik dan terhormat”

Temukan Jalan
Waktu ini terus berjalan, usia terus bertambah. kematian juga semakin dekat. Mengenal diri sendiri untuk melangkah adalah pondasi utama yang harus dipikirkan dan perlahan dilakukan. Banyaknya pengetahuan yang di acap, serta pemikiran lain yang di lihat seharusnya bisa membuat kita yakin mana jalan yang akan kita pilih pada quarter-quarter berikutnya, utama nya setelah lulus kuliah nanti. Tidak perlu merasa benar, karena kebenaran itu sejatinya adalah suatu hal yang abstrak, satu individu dengan individu lainnya memiliki pengertian kebenarannya yang berbeda. Lalu? cukup untuk menjadi satu hal yakni kebermanfataan, bermanfaat bagi lingkungan, bangsa dan agama. Apapun jalannya, apapun jalurnya.

“khoirunnas anfa'uhum linnas” (Sebaik-baiknya manusia, adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain)

Malang
27/02/2018
Ibnu Dharma Nugraha

Rabu, 14 Februari 2018

Memaknai Kita

Saya berada pada kondisi dimana rasa dan nyata tidak berbanding sama. Ketika rasa yang terbesit dibiaskan oleh kenyataan yang terdesir, mungkin karena mengeksplanasikan momento satu warsa kemarin pada kondisi minimum hingga ke titik dasar terendah, mungkin juga karena sadar bahwa saya masih belum maksimal dalam mengupayakan, optimal dalam merekatkan, serta menjadi baik untuk mendengarkan. Menjadi sosok yang mengintervensikan suatu sisi pada satu perspektif kacamata dengan menghiraukan perspektif lain yang berbeda dengan kemungkinan benar yang sama.

Saya masih belum bisa paham bagaimana bisa pada kondisi final selalu ada hal yang tetiba muncul untuk menebalkan suatu keretakan yang membuat lingkaran senin malam menjadi tidak nyaman. Lalu muncul juga sosok nyata meniadakan peka, dan jika "kita" tertawa pada sebagian suaranya selalu ada diam yang menyeringai. Bahwa, tidak semuanya sama dalam memposisikan. Bahwa, tidak semuanya senang dalam kebersamaan.

Memaknai kita bukan hanya tentang cerita, juga bukan tentang tawa, sedih, haru atau momen-momen unik yang langka, Memaknai kita adalah memaknai kebenaran bahwa pada banyak kejadian selalu banyak hal yang bisa disimpan, bisa dipelajari. bahwa pada banyak kondisi kita masih banyak pula kekurangan; janji yang diucap, bukti yang diacap, kerekatan pertemanan, serta yang paling penting adalah tentang ukhuwah kontinuitas kita pada kuadran-kuadran baru termin berikutnya.

Matur Suwun
Dalam banyak hal dimana ruang dan waktu telah dilalui bersama, saya banyak belajar bagaimana menjadi sosok melankolis sejati yang permanen. Bahwa, pada satu warsa yang lalu adalah hikmah yang bisa dipetik, juga pelik yang bisa disimpan. Memahirkan diri dengan cerita guru terbaik kita, mendengarkan untuk mengerti, mengerti untuk memahami, dan memahami untuk melantaskan. Dan pada akhirnya muara satu warsa ini telah disudahi, waktu kita telah berakhir, tapi kenangan-kenangannya akan selalu terukir. Lalu lantas, muara apa yang akan kita tempati di termin-termin berikutnya? Dan lantas, Apa pada muara baru tersebut kita masih bisa berkumpul untuk bersua? Serta bersua untuk tertawa? Semoga.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Q.S Al-Ahzab [33]: 72)

Malang,
14/02/2018
Ibnu Dharma Nugraha (Brawijaya Mengajar EM UB 2017)