Minggu, 27 Agustus 2017

Merenungi Keburaman

 “Aku melihat handphone hitam androidku, pukul dua belas lebih tiga puluh menit, ku ganti lagu yang sedang diputar, sesekali ku benarkan posisi headset yang kurang pas di telinga. Sepanjang mata memandang berjalan menuju kosku hanya ada gedung tanah dan BP yang berpapasan dengan beberapa pohon sawit di depannya, yang tanpa lelah melambaikan pelepah daunnya. indah, sunyi dan begitu damai. Kuedarkan pandangan ini untuk melihat suasana yang lain, di depan gedung sosek tepatnya beberapa mahasiswa dengan pakaian yang tidak asing lagi, jas almamater berwana biru dengan kemeja putih dan juga dasi yang rapih, pantopel hitam yang mengkilat dikombinasikan dengan beberapa atribut khasnya, parcel makanan, dan juga boneka  huruf S dan P, sesekali mereka melakukan selfie, juga foto bareng untuk menyimpan momen tersebut. Ya momen yang kelak akan dirasakan oleh setiap mahasiswa, baik itu mahasiswa tepat waktu ataupun mahasiswa abadi, momen yang aku pun akan melaluinya, lalu terbesit pertanyaan, sudah sejauh mana aku mempersiapkan? Buram masih buram”

Sudah bukan biasa lagi namanya jika masuk di tahun ketiga belajar di kampus ini kampus tercinta brawijaya, cukup sedih mengetahui bahwa saya adalah mahasiswa hampir tingkat akhir disini; semester 5, bisa dikatakan pula saya sedang masuk dalam fase quarter life crisis, fase sakral bagi anak-anak muda yang galau seperti saya, heuheu. Sedikit flashback di dua tahun kemarin ternyata kalo dipikir-pikir banyak juga hal yang sudah saya lakukan, meski tak sedikit pula yang berakhir pada katakanlah ekspektasi, rencana yang tidak terealisasi. Dan kini adalah tahun ketiga, itu tandanya semakin dekat saya dengan magang, sempro, semhas, yudisium, wisuda, bahkan mungkin pencarian jodoh impian masa depan, lantas sudah sejauh mana saya mempersiapkan itu semua? Atau kamu? Persiapan yang saya maksud disini bukanlah hanya sebuah transkrip nilai yang berupa huruf saja, tapi lebih daripada itu adalah mindset kumulatif dari pengalaman-pengalaman yang telah dilalui yang kemudian dapat di implementasikan secara eksplisit pada kehidupan masyarakat nantinya. Ya tentunya kita masih ingat dengan embel-embel peran mahasiswa? Yang selalu digembor-gemborkan ketika memasuki fase transisi menuju kuliah? Saya harap selalu diingat dan tersimpan rapat dalam memoar, bukan hanya sebatas pemikiran tapi juga tindakan konkrit nantinya.

Metamorfosa Paradigma
Lewat hampir tiga tahun berada di kampus ini, mengingatkan diri terhadap hal yang saya lakukan di dua tahun kemarin, di tahun pertama kuliah sedang semangat-semangatnya mengerjakan laporan praktikum, sepertinya memasuki perpustakaan sudah menjadi kebiasaan kala itu, mengikuti beberapa kepanitiaan, dan sedikit organisasi menjadi semacam rutinitas yang dilakukan pada tahun itu, Kemudian di tahun kedua hmm kurang lebih sama dengan tahun pertama, yang berbeda hanya orientasi masuk perpustakaan yakni untuk mendapatkan wifi gratis dengan suasana sunyi, dan ademnya kipas angin di dalamnya, heuheu. Seiring berjalannya dua tahun kemarin, maka beriringan pula terhadap perubahan pola pikir saya, pola pikir yang acapkali menjadi landasan utama dalam melakukan sesuatu baik itu di masa sekarang atau bahkan di masa yang akan datang. Perubahan yang cukup luarbiasa setelah sebelumnya sempat menimbang dan juga berfikir, mana saja hal-hal yang harus saya lakukan di tahun ketiga ini, perubahan pola pikir ini mungkin baru pertama kali saya alami, menjadi pemikiran paradoks anti mainstream-mainstream club, hmm
Tentunya perubahan mindset ini tidak terjadi dalam satu waktu, apalagi perubahan ini terkait dengan impian saya di masa yang akan datang pasca kuliah nantinya, atau mungkin kamu. pernah? Ibarat sebuah kapal yang berlayar dengan saya sebagai nahkodanya, pulau yang ada di depan sebagai orientasi akhirnya, kemudian angin adalah penentu arah geraknya. Perlu kiranya saya untuk mengetahui situasi angin saat berlayar agar bisa mencapai pulau di depan, atau pilihan lainnya adalah mengganti haluan karena ritme angin yang tidak seirama dengan orientasi akhir pulau itu, tapi tetap pada tujuan akhir yakni sebuah pulau. Jika diawal saya bersikeras untuk bisa mencapai pulau tersebut, walau ada hambatan dan juga tantangan, maka kali ini saya lebih memilih untuk mengganti haluan dengan cara yang lebih seru dan juga menyenangkan. Yaps, ini tentang sebuah renjana (passion), yakni menjadikan suatu yang disukai menjadi lebih menguntungkan dan bermanfaat. Sudah cukup penat memang jika menjalani masa kuliah ini dengan suatu hal yang tidak disukai, memaksakan diri tanpa mengerti keinginan diri itu sendiri, tidak memaksimalkan potensi tapi malah memaksimalkan belenggu yang terbentuk dari persepsi-persepsi.
Di bulan Juni hingga Agustus ini saya banyak menimbang juga berfikir apakah hal yang saya lakukan saat ini sudah sebanding dengan tujuan saya pasca lulus nanti? Tujuan yang sudah saya tulis dalam manis manjanya ekspektasi di secarik kertas. Kalo boleh dijujur, menyesal juga jika mengingat dua tahun kemarin hanya digunakan untuk mengikuti pola pikir maupun perilaku yang ada, sama dan berulang-ulang. Sesuatu yang pada awalnya saya kira benar namun pada prosesnya lebih kepada belenggu yang terbentuk dari persepsi di masa lalu. Kita sudah tahu akhirnya seperti apa, namun sisi lain diri juga enggan untuk melakukan hal lain dan berbeda, padahal ada potensi di balik itu semua. Hmm, mengutip perkataan komika senior Pandji Pragiwaksono, dalam tournya Pandji berkata bahwa “Sedikit lebih beda, lebih baik daripada sedikit lebih baik” dari kalimat itu saya berfikir dan bertanya, perlukah saya menjadi seseorang yang berbeda? Menjadi pemikir di luar kotak? Atau bahkan tanpa kotak sama sekali? Dalam pikir ini pun terbesit satu prinsip bahwa menjadi berbeda adalah suatu hal yang istimewa, menjadikan diri kita terdiferensiasi dengan kebanyakan orang bagi saya adalah suatu hal yang unik dan juga eksentrik, diferensiasi ini tentunya tetap patuh pada prinsip nilai dan norma yang ada di masyarakat. Menjadi berbeda berarti juga berani untuk mulai menanggalkan perilaku-perilaku nyaman pada zona yang aman, perilaku dominan yang dalam nyatanya tidak begitu besar memberikan dampak positif dalam diri ini. Ya, metamorfosa paradigma ini adalah tentang pemikiran diferensiasi diri, menjadi berbeda dengan berusaha mencapai versi terbaik saya dalam diri dan hidup ini.

Just Do it, Don’t Regret It
          Sembari merenungi pemikiran-pemikiran abstrak tak karuan terkait lulus nanti, hendaknya dibarengi dengan realisasi impian yang sudah direncanakan supaya tak berakhir menjadi sebuah ekspektasi semata, Penting pula untuk bisa mengenal diri sendiri, passion dan juga tujuan akhir nantinya, agar tidak menjadi tabu dan samar-samar. Jangan juga mengikuti dogma persepsi yang terbentuk tanpa mengetahui tujuan akhir dari persepsi-persepsi tersebut, apalagi jika persepsi itu bertentangan dengan impian yang selalu di elu-elukan di awal masuk kuliah, harus yakin dan percaya bahwa sebuah makna itu selalu bisa lahir dari apapun yang ada. Mengutip perkataan dari Mahasiswa Berprestasi IPB tahun 2007, Danang Ambar Prabowo “Tulislah mimpi anda secara nyata, jangan tulis dalam ingatan saja, karena pasti anda akan lupa” suatu hal yang sangat sederhana, sederhana sekali, hanya membutuhkan secarik kertas, pulpen dan sedikit pemikiran dewasa untuk melakukannya. Walau mungkin nanti hanya sebatas gimmick dan dalam eksekusi resolusi impian tersebut hanya menjadi formalitas semata, tapi saya yakin akan bisa mengobati sedikit kebimbangan yang membelenggu hati bukan? Setidaknya sudah sedikit lebih jelas apa yang akan dilakukan di masa ini dan di masa yang akan datang.
          Yang terpenting dan tentunya krusial adalah modifikasi penggunaan waktu, agar waktu yang digunakan tidak hanya digunakan untuk nge-stalk social media jodoh impian di masa depan, berselancar dengan asyiknya pada sebuah gadget kotak yang diam, atau mantengin keseruan komentator-komentator ulung dalam sebuah postingan yang viral, pernah (?) Atau sering (?), menjadi bias memang jika waktu yang dijalani tidak dapat digunakan dengan sebaik mungkin, apalagi ketika sadar jika waktu yang digunakan dua tahun kebelakang itu terkesan sia-sia, atau memang sia-sia? Ya ngga lah, canda-canda, heuheu. Secepat dan sesadar mungkin perlu untuk mengevaluasi diri terhadap penggunaan waktu, kemudian memodifikasinya dan terpenting adalah aktualisasi diri terhadap waktu tersebut agar waktu yang digunakan bisa lebih bermanfaat lagi, tidak mubazir dan sia-sia. jangan menunggu ataupun menunda karena menunggu itu melelahkan, ngga deng, canda lagi, heuheu. Mulai belajar untuk memprioritaskan hal-hal yang tidak mendesak dan juga penting, membedakan kebutuhan serta keinginan, mencatat hal yang akan dilakukan dan capaian dalam 24 jam kehidupan. Akan sulit memang pada awalnya, terlebih pada prosesnya nanti akan banyak liku atau bahkan pilu.
Sedini dan semaksimal mungkin pada diri kita perlu ditanamkan sebuah mindset mendasar tentang satuan waktu, bahwa waktu yang berlaku pasti akan berlalu, menjadi memori dan pengalaman berharga  ataupun sebaliknya. Tinggal pilihannya ada pada diri kita sendiri, siapkah kita mendekretkan diri untuk mulai menggunakan waktu dengan baik dan juga bijak?, atau tetap menggunakan waktu dengan sia-sia seperti tahun-tahun sebelumnya dan berakhir pada sebuah penyesalan? Mari bersyukur bahwa Allah SWT masih memberikan kita kesempatan untuk bisa memperbaiki itu semua.

“bila kemarin hanya berlalu bagai angin berhembus, selalu begitu, apa hari ini aku masih merugi? Jangan lagi” (Kutipan Lagu Seujung Jari oleh Shaffix)

Ibnu Dharma,
Mahasiswa Brawijaya yang merasa tampan bila difoto dalam perspektif yang menguntungkan.

Kamis, 10 Agustus 2017

Tapak Pengabdian

         
         
       
Mengawali tahun 2016, saya diberi kesempatan untuk bisa merasakan banyak sekali perjalanan dalam menempuh pelajaran di bangku Pendidikan. Eits, tapi ini bukan hanya tentang perjalanan saya, ini tentang perjalanan aku, kamu, kamu lagi dan mereka (Siswa-siswi SDn 03 Ngabab dan Mi Miftahul Ulum). Yaps, kesempatan menjadi seorang pengajar merupakan kesempatan yang jujur luarbiasa sekali, jauh dari ekspektasi atau bahkan mungkin tidak pernah saya ekspektasikan sebelumnya.

Untuk memulai menjadi pengajar di Brawijaya Mengajar sebenarnya ada dua jalur, yang pertama adalah harus menjadi staff Eksekutif Mahasiswa EM UB, dan yang kedua yaitu menjadi Volunteer Pengajar, sebenarnya sama saja, yang membedakan hanya tugasnya, jika staff mengurus masalah internal serta eksternal dalam Brawijaya Mengajar, sedangkan Volunteer hanya pada bagian pengajaran, penyususunan RPP. Oke pertama-tama singkirkan stratifikasi social seperti ini, karena bagi saya Brawijaya Mengajar itu ya mahasiswa Brawijaya yang mengajar, EM maupun Volunteer dan lain sebagainya tidak menjadi masalah, yang terpenting niat dalam hati yang ditunjukan dengan aksi nyata di kamis malam dan sabtu pagi (hayo masih pada ingat? Hehe). saya sendiri mendaftar menjadi staff EM UB karena pada saat itu sudah open recruitment duluan, jadi saya kira kesempatan harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin, selanjutnya saya siapkan segala macamnya untuk bisa lolos tahap interview, latihan di depan webcam, stalking semua social media BM, bahkan stalking yang sering stalking BM (semacam perlombaan sudah sejauh mana teman saya mengenal BM, hehe). kemudian interview dan alhamdullilah diberikan kesempatan untuk belajar disini, di tempat yang selalu memberikan cerita unik di setiap sabtunya. Hari pertama mengajar? Bagaimana?

Hari itu menjadi hari yang tidak biasa, ku matikan nada alarm yang memekakan telingaku dan mungkin telinga di kamar sebelahku, aku pun bersiap untuk beranjak pergi ke kampusku kampus brawijaya, jujur tidak biasa karena hari itu adalah hari libur hari sabtu, yang dimana kebanyakan mahasiswa menggunakannya untuk mengerjakan tugas atau mungkin beristirahat dari penatnya laporan mingguan. Hehe. pada hari itu SDn 03 Ngabab sedang libur sehingga pengajaran dialihkan ke MI Miftahul Ulum, kemudian kami pun berangkat menuju titik pengabdian, Dekat? Tidak, Jauh? Banget. Waktu yang ditempuh dari brawijaya ke MI Miftahul Ulum sekitar 1 jam, rasanya seperti berkendara dari Kuningan ke Cirebon, hehe. sampai disana kami disambut dengan riangnya siswa-siswi MI Miftahul Ulum, ada yang manis nyatanya bengis, lari ke sana- ke sini, memanjat pagar, memanjat harapan yang tidak pernah tercapai juga ada, -_-“, singkat cerita, setiap pengajar di plotting ke setiap kelas, dan saya kebagian di kelas 4, tidak banyak yang saya ingat di pengajaran pada hari itu, yang paling saya ingat yaitu bermain Indonesia Pintar dengan teman-teman pengajar di sela waktu istirahat, bersama ka Wildan, ka Subhan, ka Gery, ka Ilham, Kaka-ka yang selalu saya sebut sebagai sesepuh BM, haha. hari itu menjadi pengajaran pertama saya setelah kurang lebih 3 tahun saya tidak pernah mengajar lagi.

Tahun 2016, Tahun Keajaiban, terdengar Lebay, tapi memang seperti itu pada kenyatannya, meluangkan waktu di kamis malam untuk briefing, sabtu pagi hingga siang untuk mengajar, bersenda gurau dalam seriusnya sebuah rapat (zaman itu saya masih cukup lucu, hehe), menjadi admin di Social Media BM, membuat Report pengajaran setiap mingggunya, dan masih banyak lagi kenangan yang tidak bisa saya tuliskan satu persatu disini. terimakasih untuk mas Medi (Ketua BM Ank. IV) yang telah memberikan saya kesempatan untuk bisa belajar disini, di keluarga kedua dalam perantauan ini, untuk mba Titi (Wakil Ketua BM) yang selalu peduli dalam senyap, untuk mas Ipul dan Inggit yang telah menjadi partner selama di Infokom BM, untuk Dayat dan Dian Wulan yang selalu semangat dalam menangani Ekskul, untuk Ummi yang menjadi boncengan pertama saya mengajar, untuk Avuan yang selalu saya ingat kegaringannya dalam berkomedi, untuk Mas Alif yang selalu memimpin rapat dalam bahasa Inggris dan Arab, untuk Yusdar dan Enta yang selalu Stay Cool dalam setiap rapat, untuk Mba Sarah dan Mba Ayun yang selalu punya kegiatan untuk BM, untuk Dhiya Husna sang sekretaris yang super sekali, untuk Arin, rekan bercerita di pengajaran awal, untuk Deyla dan Safira yang cukup rempong kalo ada anak yang bandel, untuk Eka yang punya ketawa paling keras kalo saya ngelucu, untuk Ka Afifah Salsabila, kaka ter tidak jelas di Brawijaya Mengajar, yang sok jutek di awal perkenalan, untuk mas Subhan, mas Wildan, mas Ilham dan mas Gery yang menjadi guru dalam manisnya pengabdian dan untuk Staff Muda dan juga Volunteer yang telah menjadi bagian dari Rumah ini, maaf tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.

Pada akhirnya satu tahun itu menjadi tahun yang sangat berharga bagiku, menjalani hari sabtu dengan kegiatan pengajaran telah sedikit membuka paradigmaku terhadap dunia pengajaran, bahwa menjadi pengajar tidak melulu soal mengajar, tapi lebih dari itu kita juga bisa belajar dari mereka anak-anak Sekolahh Dasar, dari semangat yang  selalu terpatri dalam senyumannya. Menjadi pengajar juga bukanlah tentang sebuah eksistensi, tapi ini tentang keikhlasan, cinta dan kasih sayang dalam pengabdian. Ya waktu itu mungkin telah berakhir tapi kenangan, pelajaran, dan canda tawa itu jelas akan selalu terukir dalam memoar diriku dalam sanubari jiwaku, dan ini adalah tapak pengabdianku dan juga kita, yang akan selalu dikenang dan mengenang. Terimakasih satu tahun itu, senang bisa mengenal kalian. Pengajar Brawijaya Mengajar Angkatan IV.

Note : Tulisan ini telah di posting sebelumnya di Website Brawijaya Mengajar. Klik Disini untuk Melihat Lebih