Minggu, 30 September 2018

Kampung Tematik diujung Tanduk


KAMPUNG PUTIH - Kawasan pemukiman yang dicat warna putih, hijau dan abu-abu di Jalan Jaksa Agung Suprapto, Klojen, Kota Malang. Sumber : google.com

Kampung-kampung kumuh yang ada di Malang perlahan mulai disulap menjadi kampung tematik. Beberapa kampung direhabilitasi sedemikian mungkin agar terlihat aikonik dan artisitik sehingga masyarakat harapannya dapat datang untuk berlibur atau sekadar mengambil momen melalui kameranya. Pemerintah dan masyarakat setempat menjadi pondasi utama dalam gerakan rehabilitasi ini. Beberapa program diantaranya mengalami keberhasilan sebut saja kampung warna-warni Jodipan Malang yang telah meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat setempat melalui turis baik itu dari lokal maupun mancanegara yang berkunjung. Namun, beberapanya juga menjadi boomerang dan kegagalan khusunya bagi masyarakat yang tinggal disana, salah satu contohnya adalah Kampung Putih yang terletak di Jalan Celaket Kota Malang.

Kampung Putih mulai dibangun pada tanggal 15 Maret 2017. Abah anton selaku walikota Malang pada saat itu secara simbolik membuka destinasi wisata Kampung Putih. Rumah warga yang ada di kampung ini secara tematik disulap menjadi warna putih sehingga yang semula kumuh dapat menjadi indah juga menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin berkunjung.

Namun, sejak diresmikannya hingga hari ini (16/09/2018) Kampung Putih belum bisa menjadi daya tarik baru bagi wisatawan. Alih-alih bisa sukses seperti kampung tematik yang lain, justru menjadi bumerang sendiri bagi penduduk yang tinggal. Program-program yang direncanakan seperti spot foto juga pemberdayaan masyarakat tidak berjalan dengan masif.Padahal, pada saat diresmikannya Walikota Malang sendiri Abah Anton mengatakan akan adanya program-program agar masyarakat dapat diperdayakan sehingga menaikan nilai ekonominya.

Selain program-program yang tidak berjalan dengan mulus. Dalam lingkup internal sendiri masyarakat masih belum paham orientasi pemerintah dan juga belum adanya bentuk solidaritas secara solid di dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat terkesan acuh dalam meningkatkan nilai visual dari Kampung Putih ini sendiri. Padahal, dalam meningkatkan daerah destinasi wisata suatu daerah tidak dapat ditangguhkan ke dalam satu pihak saja tetapi juga setiap elemen yang ada.

Pemerintah perlu menerapkan janji-jani yang telah diutarakan agar tidak terkesan sebagai janji basi seperti pemerintahan sebelumnya. Masyarakat yang tinggal setempat pun perlu membentuk ikatan yang solid diantaranya. Beberapa komunitas maupun mahasiswa juga perlu membantu menyuarakan dan membranding serta turun langsung untuk membantu dari apa-apa yang mereka bisa bantu. Karena bicara kota, bicara kita.

Citizen Reporter Oleh Ibnu Dharma Nugraha
Malang Citizen

Senin, 06 Agustus 2018

Murtad dari Blogspot

Alhamdulillah setelah dinanti-nantikan dalam waktu yang cukup lama, saya berhasil migrasi dari domain blogspot.com menuju .com. Gegaranya sih karena tergiur sama promo domain juga hosting dari rumahweb.com yang harganya relatif murah. 

Pas lah untuk kantong mahasiswa meskipun dalam beberapa hari ke depan ini bakal ada penghematan yang ekstremnya rada-rada. 

Pertama kali gunain blogspot sebenarnya pas zaman MTs, waktu itu ada pelajaran TIK dan pembahasannya  tentang html di blogspot pake aplikasi notepad PC. Karena topiknya seru jadilah secara ngga langsung saya bikin akun blogspot pertama dengan nama blog yang alaynya minta ampun ( www. noe-ibnoe.blogspot.com/ ). Desain dan format tulisannya emang agak nelangsa ditambah isinya  yang absurd gak ketulungan yang kebanyakan cuman nyomot artikel website lain tanpa dikasih sumber, selain artikel yang hasil nyomot, pelan-pelan saya juga mulai nulis 1 post/ year.
Karena lupa pasword dan juga mulai sadar kalo nama blognya bisa malu-maluin keluarga, saya mutusin buat migrasi ke nama blog yang lebih relevan juga mudah diingat ( www.ibnudharma.blogspot.com ). Isinya pun Insha Allah lebih bijak dan bermanfaat. 

Alasan Murtad

Nah, karena domain .blogspot.com ini template nya gitu-gitu aja dan minim variasi yang kadangkala bisa buat saya jenuh, akhirnya saya mutusin buat pindah ke .com yang secara template banyak variasi dan mudah dalam kustomisasi. Kedua,  kebetulan banget rumahweb.com sedang ada promo murah untuk domain dan juga hosting .com jadinya saya kepincut untuk beli. Ketiga, karena domain .com ini berbayar dan sayang banget kalo dikosongin aja, harapannya sih bisa jadi pecutan untuk nulis, kan sayang udah beli tapi malah ngga digunain. Keempat, biar lebih keliatan profesional dan ganteng tentunya. Eh, tapi kalo ganteng mah udah dari rahim sih.
Sebelum migrasi kesini sebenarnya saya udah nyoba beberapa website yang memberikan jasa serupa. Pernah ke medium, selasar dengan sistem kurasinya, tumblr yang kena block pemerintah, sampe wordpress.com. Tapi karena alasan-alasan di atas tadi saya kayaknya bisa mulai betah beropini disini selama setahun. Tau deh kalo taun depan, moga aja masih bisa dipromo in, hehe.
Kalo boleh dikata, agak berat juga pindah domain, karena blog saya yang dulu ibnudharma.blogspot.com udah punya traffic yang cukup bagus di google ditambah hingga saat ini visitornya udah lebih dari 10.000 an (kemungkinan saya yang refresh 7000 kali) sehingga jadi bargaining position sendiri kalo search nama Ibnu Dharma di google. Tapi karena ada menu direct link saya rasa kegalauan saya bisa sedikit terobati lah ya.
Terakhir, saya mau terima kasih sama teman FILKOM saya yang udah bantuin migrasi juga murtad dari blogspot.com ke .com. Yang udah bantu ajarin gunain Cpanel, cara nginstal script wordpress juga ngejawab pertanyaan tetek bengek saya sampe jam 12 malam. Hatur nuhun pisan  Huda.
Saya rasa medium dalam melebar sayapkan perspektif berbentuk opini bisa dimana saja dan lewat jalur apapun itu, sesuai dengan selera masing-masing juga, bisa lewat selasar, medium, blogspot, wix, kompasiana dan masih banyak lagi. Yang penting adalah istiqomah dalam menjalani juga aktualisasi pada pembaharuan-pembaharuan. Semoga saya dan kamu adalah bagian dari itu.
Bismillah, sila ingin membaca tulisan-tulisan saya, insha allah saya akan mulai rutin menulisnya di blog baru saya yaitu ibnudharma.com. Saran dan kritik sangat membantu :)

Malang,
05/08/2018
Ibnu Dharma Nugraha




Minggu, 22 Juli 2018

Gagal Memaknai Kegagalan?

Dalam satu sesi wawancara online untuk masuk organisasi, saya ditanya tentang kegagalan terbesar dalam hidup. Sebuah pertanyaan mainstream, ter-globalisasi dan terselip diantara banyak pertanyaan wawancara sejenis. Siapa nama kamu?—Apa kelebihan kamu?—Apa kekurangamu?—Apa kesuksesan terbesarmu?—Apa kegagalanmu?. Menjadi pertanyaan yang tak jemu-jemunya ditanyakan oleh interviewer. Kalopun dijawab saya rasa jawabannya akan mainstream juga. Nama saya Ibnu—Kelebihan saya bisa mainin corel draw x20 dan saya tampan—Kekurangan saya ngga bisa manage waktu, jadi kadang kalo saya tidur tanggal 2 pas bangun udah tanggal 5—Kesuksesan saya dulu pernah ikutan lomba karya ilmiah, idenya tentang ngubah ukuran lele jadi sebesar lumba-lumba—Kegagalan saya blablablabla. Dan karena saking seringnya, beberapa pertanyaan yang diajukan tadi mudah ditebak sehingga saya yang tampan ini ngebuat opsi jawaban yang rasional, sedikit ngawur.

“Apa kegagalan terbesar dalam hidup kamu?” Cetus salah satu interviewer.

“Kegagalan terbesar dalam hidup saya adalah ketika ada kebaikan yang tidak bisa diiterasikan mas.” Jawab saya dengan gagah dan tampan sembari mengkibas-kibaskan poni agar lebih simetris.

“Saya ngga minta kamu buat orasi, saya minta jawaban kamu.” Sanggah salah satu interviewer disebelahnya yang acuh tak acuh melihat saya.

“Iya mas, jadi kadang ada kebaikan yang ngga bisa saya pertahankan sampai visinya terwujud. Jadi menyerah di tengah jalan, ngga istiqomah dan bagi saya itu adalah sebuah kegagalan terbesar.” Hufftt.

“Semisal dulu saya ikut kegiatan pengabdian di ranah pendidikan, tapi setelah purna jabatan. Purnalah juga hal-hal baik yang pernah saya lakukan. Atau ketika saya mulai merintis usaha, belum apa-apa, belum seberapa, saya menyerah karena melihat fakta di lapangan yang begitu sulit untuk dielakan. Disana lah adanya kebaikan yang tidak bisa diiterasikan yang muncul ketika saya berhenti di titik krisis, atau kembali masuk ke dalam zona nyaman.”

Dua interviewer tadi kelihatan kebingungan.

“Maksud kami, kamu pernah gagal misalnya IPK kamu di bawah 3.00, atau apa gitu.” Salah satu interviewer mulai memberikan contoh-contoh kegagalan.

“Ngga mas, saya sekarang IPKnya ngga di bawah 3.00.”

“Terus apa dong?” Tanya interviewer yang lain.

Kali ini saya yang kelihatan kebingungan.

Karena penasaran, besoknya saya coba tanya ke teman satu kampus apakah argumentasi saya kemarin itu bisa disebut sebuah kegagalan. Teman saya kebingungan. Boi-Boi, macam interviewer saban malam tadi aja kau ini ahhh.

Seperti halnya kesuksesan yang kadang-kadang tidak dapat diukur oleh ukuran materi atau juga eksistensi. Maka interpretasi kegagalan juga adalah hal yang sangat-sangat subjektif dan juga relatif. Saya gagal masuk PTN, saya gagal masuk organisasi, saya sampai sekarang masih jomblo. Adalah beberapa contoh dari kegagalan yang substansial namun tetap subjektif. Belum tentu apa yang dikatakan gagal oleh orang satu akan linier dengan kegagalan versi orang yang lain. Dan lagi karena fase kegagalan adalah tentang visi atau mimpi yang tidak bisa dicapai: ini akarnya. Tentu satu visi orang dengan visi yang lain tidak mesti sama, hal mendasar darinya adalah sisi perspektif yang berbeda-beda.

Kalo versi saya sih, saya dikatakan gagal ketika ada kebaikan yang tidak bisa diiterasikan (baca: diteruskan). Visinya jelas dan tetap elegan ; lebih baik atau tetap sama dari hari kemarin. Kalo keluar dan mengalami degradasi daripada itu, sudah tepatlah saya menyebutnya kegagalan. Dan ini yang sedang saya rasakan. Kalo kamu?


Malang,
23/07/2018
Ibnu Dharma Nugraha