Jumat, 22 Juni 2018

Determinasi yang Mati

Ada yang bilang bahwa kenangan indah itu lahir dari berbagai kejadian yang hadir, dipendam dan sesekali dikenang. Seakan kenangan indah akan tetap indah pada termin yang lain. Besok-besok atau jika perlu hari ini aku ingin sekali mereformarsi bahkan merevolusi hal yang demikian, bukan karena tidak ada kejadian, bukan pula karena tidak ada yang dipendam atau dikenang; bukan. Pasalnya beberapa bagian dari itu adalah sebilah belati yang berputar 180 derajat dari arah depan, atau 360 derajat dari arah belakang. Ujungnya yang berwarna silver agak karatan itu meluat-meluatkan lancipnya ke satu bagian anatomi tubuh yang sangat penting, saking pentingnya anatomi tubuh yang lain akan mengamuk dan jika perlu berkumpul-kumpul, berporak-poranda untuk menahan. Walau sakit.

Bagaimana tidak hati yang dulu kinclong putih tanpa noda, selalu bersiul bahagia yang malamnya diluapkan dalam lamunan mesra nan indah di depan riak-riak air yang jernih. Kini terkaku-kaku termangu meluapkan sendah gelisahnya di depan pematang, berkalut, di bawah pohon, di atas bumi, ditemani senja, dihempas kafilah-kafilah angin berlalu yang gemulai dan digigit penyakit lama yang akut kalau sedang diingat. Warnanya kian hari kian mencolok cokelatnya yang makin lama makin hitam pekat bak ban hitam bermerek bridgestone yang dilumas kit black magic sebanyak tujuh pangkat dua kuadrat di akarkan dua—sama aja. Hatinya kini dilanda nestapa yang begitu lebat macam rambut kribonya bena kribo yang dikeramasi pantene lalu di bilas dengan air sawah hasil kombinasi dengan larutan kaporit. sungguh wangi dan lebatnya tidak dapat dilayangkan oleh bayang-bayang. Ditambah lagi dilibat sebilah belati lancip berkarat 180 derajat dari arah depan, atau 360 derajat dari arah belakang. Tertusuk, tercabik. Sporadislah dia dan sakit.

Bagaimana ia bisa kembali seperti semula jika yang diharapkannya menjadi semula tidak kunjung juga semula. Bagaimana ia bisa kembali bersiul bahagia bilamana yang ia siul-siul tak lagi muncul. Bagaimana ia bisa kembali beriak-riak jika tidak ada airnya. Bagaimana bisa ia kembali putih jika pemutih yang dulu hadir sekarang sudah kadaluarsa sehingga melupakannya. Bagaimana bisa? Kini yang ia tahu hanya jeruji besi berisi kebahagian yang tertutup rapat dan erat. Di ikat rantai belukar dua belas rantai dibagi dua dikalikan enam yang terkonsilidasi paripurna dengan gembok bermerek HSG dijauhkan dari pasangannya yang tumpul bergelombang absurd agak karatan: kunci. Di jaga ketat oleh kutukan-kutukan masa kini yang mencekam, jahat  bak awan cumulonimbus yang mudah marah jika dibenturkan dengan lawan kutubnya. Glegar! Gledek! Glegar! Gledek! begitulah bunyinya. Cengklang! Cengkling! Cengklang! Cengkling! begitulah kilatnya. Ditempatkan di bagian inti bumi; bagian bumi yang paling dalam, dipojokan dan terlupakan. Terbakarlah ia saking panasnya.

Kini hatinya mudah marah jika ada yang bertukar pikiran atau nasib tentang kehidupan romansa dialektika dua sejoli belum sah, sesuai nalar dan berlogika, namun tidak berdasar moral beragama. Konon dulu, pernah ada hati lain yang mampir di hatinya, ngekos hingga ngontrak. Bertalu-talu lalu terdeterminasi menjadi ketetapan hati, menjadi rasa kemudian mati. Tapi kini, hati itu sudah kabur di bawa hati yang lain yang lebih luas, lebih putih, lebih mantap siulannya, lebih gagah riakkannya, lebih jernih airnya saking jernihnya katak sampai lupa daratan bahkan sampai lupa dia amfibi. Lebih terbukti pastinya.

Pernah satu waktu ada pihak yang ingin merekonsiliasikan hatinya dengan hati yang telah di ajak pergi oleh hati yang lain itu. Tapi sayang beribu sayang, tapi sayang berbapak sayang, tapi sayang berbibi sayang—jika dilanjutkan bisa sampai cicit-cucut-cecet. Hati lain itu tidak ingin kembali. Tidak ingin berekonsiliasi. Tidak ingin ngontrak dengan masa kontrak yang jangkanya saja tidak pasti. Reyot dan penuh petaka. Ia sudah betah, gegap gempita, bahagia dengan hati yang membawanya pergi. Lebih tepatnya hati yang memberikannya kepastian, bukan kepalsuan. Memberikan bukti, bukan janji. Datang dengan gagah, bukan gegabah. Meminta restu, bukan merayu. Melewati jalan yang pantas, bukan pintas. I’tikadnya baik, bukan picik. Ikhtiarnya lurus, bukan jadi virus. Begitulah ia hingga akhirnya menjadi rumah indah bagi hati yang pergi itu hingga sakinah, mawadah, warahmah. Hingga beranak-pinaklah hatinya melahirkan hati-hati suci yang lain. Hingga mautlah yang akan memisahkan dua hati itu. Apa-apaan ini?!

Determinasinya telah mati ditinggal pergi oleh hati yang telah cukup lama menetap namun tidak pernah ditetapkan sebagai bagian pelipur lara juga bahagia dalam hubungan yang benar-benar benar. Hati yang telah pergi telah meminta pula kepastian setiap hari: sehari tiga kali, malam, siang, pagi. Hati yang telah pergi telah lama pula tahan dari musim hujan ke delapan sampai musim kemarau ke sembilan. Hati yang telah pergi telah sabar pula hingga puncaknya terpapar pancaran kelakar dari persatuan setan dua sejoli hingga kalau bablas bisa jadi tiga sejoli kalo bablas lagi bisa jadi dua sejoli kembali.

Hati yang ditinggal kikuk berkalut itu akhirnya sadar bahwa determinasi yang mati adalah salahnya sendiri, tidak dan bukan salah hati yang membawa hati yang pernah ngontrak itu pergi. Kembali ia tercenung merenung di depan pematang, di bawah pohon, di atas bumi, ditemani senja makin merunduk yang sedikit lalu berbisik jahat namun baik. “Jika sudah siap baru datangilah, ketuklah dan ucapkan dengan takzim maksud dan tujuan dan visi-misi dan rencana dan harapan dan impian dan kepastian dan cita dan cinta dan lain-lain dan sebagainya dan seterusnya.” Ucapnya yakin serta kuat macam akar beringin umur 100 tahun tercekam erat sampai horizon tanah B dan hebatnya menyelisik lalu terserap ke bagian anatomi tubuh yang lain. Bergetar dan tersadar. Sekali lagi. Apa-apaan ini?!


Kuningan,
22/06/2018
Ibnu Dharma Nugraha

Senin, 18 Juni 2018

Kisah Mata, Jari, dan Handphone Kekinian

Semilir angin menyelisik ke celah jendela kusam yang tidak begitu rapat lalu tereksponen ke berbagai sudut-sudut ruang di dalamnya. Si angin sulung yang tak sabar berlari kencang dan menabrak sebuah jendela kamar di dalam ruang yang terkadang menimbulkan bunyi-bunyi renyah. Si bungsu yang lembut menyaru di belakangnya, melindapkan bunyi-bunyi tadi pada irama yang filantropis—Cinta.

Di sudut timur di luar jendela, kepala bundar mentari mulai menampakan ronanya. Semburat sinarnya menyirami banyak permukaan tepat berada di bawahnya. Tak terkecuali jendela kamar di ruang tadi. Cahayanya mulai mengintip manja ke dalam kamar melalui jendela persegi yang tidak terlalu besar lalu menghasilkan bayangan-bayangan parsial di dalam. Seketika itu pula sinarnya merefleksikan bermacam bentuk debu yang semula kasat bagi mata.

Sementara angin dan semburat mentari beduyu-duyu datang dengan simbiosis yang komensalis: tidak saling menguntungan. Di dalam kamar itu pula sedang ada perseteruan yang gejolaknya terdengar hingga ke kamar di sebelahnya, di sebelahnya, hingga di sebelahnya lagi. Lieur. Bunyinya sampai membuat gendang kepala berdendang sehingga membuat ramai seketika. Perseteruan antara alarm dan irama sirkadian memang sering terjadi, khusunya di kamar tadi. Yang satu kekeuh pada tugasnya, dan yang satu lagi kekeuh pada nafsunya. Kadang dimenangkan oleh alarm dengan bunyi ningnangningnongnya, tapi lebih sering di menangkan oleh irama sirkadian yang lembutnya bagai kapas namun berakhir dengan sakit seperti di colok duri durian dari Thailand. Kenapa harus Thailand? Ntah.

Kamar itu tidaklah terlalu besar. Ukurannya sekitar enam kali empat meter yang di dalamnya ada sebuah dipan, lemari, meja belajar, dan beberapa gantungan baju. Susunan benda-benda tadi terlihat abstrak  atau karena tadi malam benda-benda tersebut kelayapan dan begadang sehingga lupa akan posisi awalnya. Sebuah dipan terletak di depan lemari, lemari terletak di belakang meja belajar, meja belajar terletak di antara dua benua, dan gantungan baju terletak di selat sunda. Ngga usah dibayangkan.

Pada hari itu alarm dengan bunyi ningnangningnongnya akhirnya memenangkan pertarungan. Memekakan telinga untuk beberapa saat. Dua buah mata perlahan terbuka sementara tangan kanan secara refleks mematikan alarm handphone yang ada di samping kepalanya, sesekali tangannya mengusap mata yang sedang lusuh karena kotoran alias belek. Dua buah mata tadi perlahan mengintai sekeliling melihat apakah hari sudah cerah lalu menatap samar ke sebuah layar handphone berukuran lima koma lima inch, berpanel amoled dengan ram tiga giga—ngga penting untuk dibahas. Pukul tujuh lebih tiga puluh menit, waktu yang sangat siang untuk seorang mahasiswa bangun dari tidurnya. Dua jempolnya gesit membuka pattern kode tanda masuk, tanpa didesak ia membuka media sosialnya dan melihat beberapa chat yang belum sempat dibaca kemarin malam. Dua jempolnya kembali gesit membalas satu persatu chat yang telah tenggelam, membuat dua kelingkingnya iri dan dengki. Sesekali bibirnya tersenyum simpul sehingga dua bilah pipinya tertimbul-timbul. Lucu menurut batinnya.

Pikirannya memang masih terantuk-antuk namun tidak dengan mata, jari, dan handphone berukuran lima koma lima inch, berpanel amoled dengan ram tiga giga. Mata dan jari seolah sevisi untuk memperdaya pikiran dan anggota badan lain yang terkulai lemas di atas kasur empuk dan nyaman.

Chat yang tenggelam sudah dibalas satu persatu. Mata yang sudah jemu mengajak jari untuk berkelana ke dunia lain yang berbeda, penuh kontroversi yang kebanyakan tidak realistis dalam kenyataan: Timeline. Segala berita artis, politikus, selebram, tiktokers yang ngga penting sampai yang sangat ngga penting, postingan viral dengan komentar-komentar yang “sok pintar” bisa ditemuin di sini. Beberapa memang menggunakannya dengan bijak namun kebanyakan adalah sebaliknya.

Si mata dan jari mulai berkelana lagi jauh ke bawah timeline. Sesekali bibirnya tersenyum simpul melihat postingan-postingan yang lucu. Matanya yang belum puas kembali menelisik ke dasar seolah ada mr. bean- mr. bean baru di postingan berikutnya. Mata dan jari hanya punya satu visi yakni mencari kesenangan batiniah melalui layar handphone berukuran lima koma lima inch, berpanel amoled dengan ram tiga giga.

Tak peduli seberapa lama ia berselancar, tak peduli seberapa lama waktu yang dihabiskan selama itu adalah ruang-ruang kesenangan dengan bingkaian senyuman akan terus dilakukan, kegiatan rutin pada masanya bagi mereka si kaum millenial.

Pukul dua belas lebih empat puluh menit. Di tempat yang sama, senyumnya kembali tersimpul-simpul, pipinya merekah, otaknya komat kamit, dua jari kelingking makin iri dan dengki. Mata dan jari tidaklah jenuh, begitu juga handphone yang tertancap mantap pada sambungan kabel usb. Mata, jari dan handphone menang melawan pikiran-pikiran rasional. Selalu, dan selalu ; berminggu-minggu, bertalu-talu.


Kuningan,
14/06/2018
Ibnu Dharma Nugraha