Senin, 18 Juni 2018

Kisah Mata, Jari, dan Handphone Kekinian

Semilir angin menyelisik ke celah jendela kusam yang tidak begitu rapat lalu tereksponen ke berbagai sudut-sudut ruang di dalamnya. Si angin sulung yang tak sabar berlari kencang dan menabrak sebuah jendela kamar di dalam ruang yang terkadang menimbulkan bunyi-bunyi renyah. Si bungsu yang lembut menyaru di belakangnya, melindapkan bunyi-bunyi tadi pada irama yang filantropis—Cinta.

Di sudut timur di luar jendela, kepala bundar mentari mulai menampakan ronanya. Semburat sinarnya menyirami banyak permukaan tepat berada di bawahnya. Tak terkecuali jendela kamar di ruang tadi. Cahayanya mulai mengintip manja ke dalam kamar melalui jendela persegi yang tidak terlalu besar lalu menghasilkan bayangan-bayangan parsial di dalam. Seketika itu pula sinarnya merefleksikan bermacam bentuk debu yang semula kasat bagi mata.

Sementara angin dan semburat mentari beduyu-duyu datang dengan simbiosis yang komensalis: tidak saling menguntungan. Di dalam kamar itu pula sedang ada perseteruan yang gejolaknya terdengar hingga ke kamar di sebelahnya, di sebelahnya, hingga di sebelahnya lagi. Lieur. Bunyinya sampai membuat gendang kepala berdendang sehingga membuat ramai seketika. Perseteruan antara alarm dan irama sirkadian memang sering terjadi, khusunya di kamar tadi. Yang satu kekeuh pada tugasnya, dan yang satu lagi kekeuh pada nafsunya. Kadang dimenangkan oleh alarm dengan bunyi ningnangningnongnya, tapi lebih sering di menangkan oleh irama sirkadian yang lembutnya bagai kapas namun berakhir dengan sakit seperti di colok duri durian dari Thailand. Kenapa harus Thailand? Ntah.

Kamar itu tidaklah terlalu besar. Ukurannya sekitar enam kali empat meter yang di dalamnya ada sebuah dipan, lemari, meja belajar, dan beberapa gantungan baju. Susunan benda-benda tadi terlihat abstrak  atau karena tadi malam benda-benda tersebut kelayapan dan begadang sehingga lupa akan posisi awalnya. Sebuah dipan terletak di depan lemari, lemari terletak di belakang meja belajar, meja belajar terletak di antara dua benua, dan gantungan baju terletak di selat sunda. Ngga usah dibayangkan.

Pada hari itu alarm dengan bunyi ningnangningnongnya akhirnya memenangkan pertarungan. Memekakan telinga untuk beberapa saat. Dua buah mata perlahan terbuka sementara tangan kanan secara refleks mematikan alarm handphone yang ada di samping kepalanya, sesekali tangannya mengusap mata yang sedang lusuh karena kotoran alias belek. Dua buah mata tadi perlahan mengintai sekeliling melihat apakah hari sudah cerah lalu menatap samar ke sebuah layar handphone berukuran lima koma lima inch, berpanel amoled dengan ram tiga giga—ngga penting untuk dibahas. Pukul tujuh lebih tiga puluh menit, waktu yang sangat siang untuk seorang mahasiswa bangun dari tidurnya. Dua jempolnya gesit membuka pattern kode tanda masuk, tanpa didesak ia membuka media sosialnya dan melihat beberapa chat yang belum sempat dibaca kemarin malam. Dua jempolnya kembali gesit membalas satu persatu chat yang telah tenggelam, membuat dua kelingkingnya iri dan dengki. Sesekali bibirnya tersenyum simpul sehingga dua bilah pipinya tertimbul-timbul. Lucu menurut batinnya.

Pikirannya memang masih terantuk-antuk namun tidak dengan mata, jari, dan handphone berukuran lima koma lima inch, berpanel amoled dengan ram tiga giga. Mata dan jari seolah sevisi untuk memperdaya pikiran dan anggota badan lain yang terkulai lemas di atas kasur empuk dan nyaman.

Chat yang tenggelam sudah dibalas satu persatu. Mata yang sudah jemu mengajak jari untuk berkelana ke dunia lain yang berbeda, penuh kontroversi yang kebanyakan tidak realistis dalam kenyataan: Timeline. Segala berita artis, politikus, selebram, tiktokers yang ngga penting sampai yang sangat ngga penting, postingan viral dengan komentar-komentar yang “sok pintar” bisa ditemuin di sini. Beberapa memang menggunakannya dengan bijak namun kebanyakan adalah sebaliknya.

Si mata dan jari mulai berkelana lagi jauh ke bawah timeline. Sesekali bibirnya tersenyum simpul melihat postingan-postingan yang lucu. Matanya yang belum puas kembali menelisik ke dasar seolah ada mr. bean- mr. bean baru di postingan berikutnya. Mata dan jari hanya punya satu visi yakni mencari kesenangan batiniah melalui layar handphone berukuran lima koma lima inch, berpanel amoled dengan ram tiga giga.

Tak peduli seberapa lama ia berselancar, tak peduli seberapa lama waktu yang dihabiskan selama itu adalah ruang-ruang kesenangan dengan bingkaian senyuman akan terus dilakukan, kegiatan rutin pada masanya bagi mereka si kaum millenial.

Pukul dua belas lebih empat puluh menit. Di tempat yang sama, senyumnya kembali tersimpul-simpul, pipinya merekah, otaknya komat kamit, dua jari kelingking makin iri dan dengki. Mata dan jari tidaklah jenuh, begitu juga handphone yang tertancap mantap pada sambungan kabel usb. Mata, jari dan handphone menang melawan pikiran-pikiran rasional. Selalu, dan selalu ; berminggu-minggu, bertalu-talu.


Kuningan,
14/06/2018
Ibnu Dharma Nugraha

Share:

0 komentar:

Posting Komentar