Rabu, 14 Februari 2018

Memaknai Kita

Saya berada pada kondisi dimana rasa dan nyata tidak berbanding sama. Ketika rasa yang terbesit dibiaskan oleh kenyataan yang terdesir, mungkin karena mengeksplanasikan momento satu warsa kemarin pada kondisi minimum hingga ke titik dasar terendah, mungkin juga karena sadar bahwa saya masih belum maksimal dalam mengupayakan, optimal dalam merekatkan, serta menjadi baik untuk mendengarkan. Menjadi sosok yang mengintervensikan suatu sisi pada satu perspektif kacamata dengan menghiraukan perspektif lain yang berbeda dengan kemungkinan benar yang sama.

Saya masih belum bisa paham bagaimana bisa pada kondisi final selalu ada hal yang tetiba muncul untuk menebalkan suatu keretakan yang membuat lingkaran senin malam menjadi tidak nyaman. Lalu muncul juga sosok nyata meniadakan peka, dan jika "kita" tertawa pada sebagian suaranya selalu ada diam yang menyeringai. Bahwa, tidak semuanya sama dalam memposisikan. Bahwa, tidak semuanya senang dalam kebersamaan.

Memaknai kita bukan hanya tentang cerita, juga bukan tentang tawa, sedih, haru atau momen-momen unik yang langka, Memaknai kita adalah memaknai kebenaran bahwa pada banyak kejadian selalu banyak hal yang bisa disimpan, bisa dipelajari. bahwa pada banyak kondisi kita masih banyak pula kekurangan; janji yang diucap, bukti yang diacap, kerekatan pertemanan, serta yang paling penting adalah tentang ukhuwah kontinuitas kita pada kuadran-kuadran baru termin berikutnya.

Matur Suwun
Dalam banyak hal dimana ruang dan waktu telah dilalui bersama, saya banyak belajar bagaimana menjadi sosok melankolis sejati yang permanen. Bahwa, pada satu warsa yang lalu adalah hikmah yang bisa dipetik, juga pelik yang bisa disimpan. Memahirkan diri dengan cerita guru terbaik kita, mendengarkan untuk mengerti, mengerti untuk memahami, dan memahami untuk melantaskan. Dan pada akhirnya muara satu warsa ini telah disudahi, waktu kita telah berakhir, tapi kenangan-kenangannya akan selalu terukir. Lalu lantas, muara apa yang akan kita tempati di termin-termin berikutnya? Dan lantas, Apa pada muara baru tersebut kita masih bisa berkumpul untuk bersua? Serta bersua untuk tertawa? Semoga.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Q.S Al-Ahzab [33]: 72)

Malang,
14/02/2018
Ibnu Dharma Nugraha (Brawijaya Mengajar EM UB 2017)

Share:

0 komentar:

Posting Komentar