Minggu, 22 Juli 2018

Gagal Memaknai Kegagalan?

Dalam satu sesi wawancara online untuk masuk organisasi, saya ditanya tentang kegagalan terbesar dalam hidup. Sebuah pertanyaan mainstream, ter-globalisasi dan terselip diantara banyak pertanyaan wawancara sejenis. Siapa nama kamu?—Apa kelebihan kamu?—Apa kekurangamu?—Apa kesuksesan terbesarmu?—Apa kegagalanmu?. Menjadi pertanyaan yang tak jemu-jemunya ditanyakan oleh interviewer. Kalopun dijawab saya rasa jawabannya akan mainstream juga. Nama saya Ibnu—Kelebihan saya bisa mainin corel draw x20 dan saya tampan—Kekurangan saya ngga bisa manage waktu, jadi kadang kalo saya tidur tanggal 2 pas bangun udah tanggal 5—Kesuksesan saya dulu pernah ikutan lomba karya ilmiah, idenya tentang ngubah ukuran lele jadi sebesar lumba-lumba—Kegagalan saya blablablabla. Dan karena saking seringnya, beberapa pertanyaan yang diajukan tadi mudah ditebak sehingga saya yang tampan ini ngebuat opsi jawaban yang rasional, sedikit ngawur.

“Apa kegagalan terbesar dalam hidup kamu?” Cetus salah satu interviewer.

“Kegagalan terbesar dalam hidup saya adalah ketika ada kebaikan yang tidak bisa diiterasikan mas.” Jawab saya dengan gagah dan tampan sembari mengkibas-kibaskan poni agar lebih simetris.

“Saya ngga minta kamu buat orasi, saya minta jawaban kamu.” Sanggah salah satu interviewer disebelahnya yang acuh tak acuh melihat saya.

“Iya mas, jadi kadang ada kebaikan yang ngga bisa saya pertahankan sampai visinya terwujud. Jadi menyerah di tengah jalan, ngga istiqomah dan bagi saya itu adalah sebuah kegagalan terbesar.” Hufftt.

“Semisal dulu saya ikut kegiatan pengabdian di ranah pendidikan, tapi setelah purna jabatan. Purnalah juga hal-hal baik yang pernah saya lakukan. Atau ketika saya mulai merintis usaha, belum apa-apa, belum seberapa, saya menyerah karena melihat fakta di lapangan yang begitu sulit untuk dielakan. Disana lah adanya kebaikan yang tidak bisa diiterasikan yang muncul ketika saya berhenti di titik krisis, atau kembali masuk ke dalam zona nyaman.”

Dua interviewer tadi kelihatan kebingungan.

“Maksud kami, kamu pernah gagal misalnya IPK kamu di bawah 3.00, atau apa gitu.” Salah satu interviewer mulai memberikan contoh-contoh kegagalan.

“Ngga mas, saya sekarang IPKnya ngga di bawah 3.00.”

“Terus apa dong?” Tanya interviewer yang lain.

Kali ini saya yang kelihatan kebingungan.

Karena penasaran, besoknya saya coba tanya ke teman satu kampus apakah argumentasi saya kemarin itu bisa disebut sebuah kegagalan. Teman saya kebingungan. Boi-Boi, macam interviewer saban malam tadi aja kau ini ahhh.

Seperti halnya kesuksesan yang kadang-kadang tidak dapat diukur oleh ukuran materi atau juga eksistensi. Maka interpretasi kegagalan juga adalah hal yang sangat-sangat subjektif dan juga relatif. Saya gagal masuk PTN, saya gagal masuk organisasi, saya sampai sekarang masih jomblo. Adalah beberapa contoh dari kegagalan yang substansial namun tetap subjektif. Belum tentu apa yang dikatakan gagal oleh orang satu akan linier dengan kegagalan versi orang yang lain. Dan lagi karena fase kegagalan adalah tentang visi atau mimpi yang tidak bisa dicapai: ini akarnya. Tentu satu visi orang dengan visi yang lain tidak mesti sama, hal mendasar darinya adalah sisi perspektif yang berbeda-beda.

Kalo versi saya sih, saya dikatakan gagal ketika ada kebaikan yang tidak bisa diiterasikan (baca: diteruskan). Visinya jelas dan tetap elegan ; lebih baik atau tetap sama dari hari kemarin. Kalo keluar dan mengalami degradasi daripada itu, sudah tepatlah saya menyebutnya kegagalan. Dan ini yang sedang saya rasakan. Kalo kamu?


Malang,
23/07/2018
Ibnu Dharma Nugraha

Share:

0 komentar:

Posting Komentar