“Aku melihat handphone hitam
androidku, pukul dua belas lebih tiga puluh menit, ku ganti lagu yang sedang diputar, sesekali ku benarkan posisi headset yang kurang pas di telinga.
Sepanjang mata memandang berjalan menuju kosku hanya ada gedung tanah dan BP
yang berpapasan dengan beberapa pohon sawit di depannya, yang tanpa lelah
melambaikan pelepah daunnya. indah, sunyi dan begitu damai. Kuedarkan pandangan
ini untuk melihat suasana yang lain, di depan gedung sosek tepatnya beberapa
mahasiswa dengan pakaian yang tidak asing lagi, jas almamater berwana biru
dengan kemeja putih dan juga dasi yang rapih, pantopel hitam yang mengkilat dikombinasikan
dengan beberapa atribut khasnya, parcel makanan, dan juga boneka huruf S dan P, sesekali mereka melakukan
selfie, juga foto bareng untuk menyimpan momen tersebut. Ya momen yang kelak
akan dirasakan oleh setiap mahasiswa, baik itu mahasiswa tepat waktu ataupun
mahasiswa abadi, momen yang aku pun akan melaluinya, lalu terbesit pertanyaan,
sudah sejauh mana aku mempersiapkan? Buram masih buram”
Sudah bukan biasa lagi namanya
jika masuk di tahun ketiga belajar di kampus ini kampus tercinta brawijaya,
cukup sedih mengetahui bahwa saya adalah mahasiswa hampir tingkat akhir disini;
semester 5, bisa dikatakan pula saya sedang masuk dalam fase quarter life crisis, fase sakral bagi
anak-anak muda yang galau seperti saya, heuheu. Sedikit flashback di dua tahun kemarin ternyata kalo dipikir-pikir banyak juga
hal yang sudah saya lakukan, meski tak sedikit pula yang berakhir pada
katakanlah ekspektasi, rencana yang tidak terealisasi. Dan kini adalah tahun
ketiga, itu tandanya semakin dekat saya dengan magang, sempro, semhas,
yudisium, wisuda, bahkan mungkin pencarian jodoh impian masa depan, lantas
sudah sejauh mana saya mempersiapkan itu semua? Atau kamu? Persiapan yang saya
maksud disini bukanlah hanya sebuah transkrip nilai yang berupa huruf saja, tapi
lebih daripada itu adalah mindset kumulatif
dari pengalaman-pengalaman yang telah dilalui yang kemudian dapat di
implementasikan secara eksplisit pada kehidupan masyarakat nantinya. Ya
tentunya kita masih ingat dengan embel-embel peran mahasiswa? Yang selalu
digembor-gemborkan ketika memasuki fase transisi menuju kuliah? Saya harap
selalu diingat dan tersimpan rapat dalam memoar, bukan hanya sebatas pemikiran
tapi juga tindakan konkrit nantinya.
Metamorfosa
Paradigma
Lewat hampir tiga tahun berada
di kampus ini, mengingatkan diri terhadap hal yang saya lakukan di dua tahun
kemarin, di tahun pertama kuliah sedang semangat-semangatnya mengerjakan laporan
praktikum, sepertinya memasuki perpustakaan sudah menjadi kebiasaan kala itu,
mengikuti beberapa kepanitiaan, dan sedikit organisasi menjadi semacam rutinitas
yang dilakukan pada tahun itu, Kemudian di tahun kedua hmm kurang lebih sama
dengan tahun pertama, yang berbeda hanya orientasi masuk perpustakaan yakni
untuk mendapatkan wifi gratis dengan
suasana sunyi, dan ademnya kipas angin di dalamnya, heuheu. Seiring berjalannya
dua tahun kemarin, maka beriringan pula terhadap perubahan pola pikir saya,
pola pikir yang acapkali menjadi landasan utama dalam melakukan sesuatu baik
itu di masa sekarang atau bahkan di masa yang akan datang. Perubahan yang cukup
luarbiasa setelah sebelumnya sempat menimbang dan juga berfikir, mana saja
hal-hal yang harus saya lakukan di tahun ketiga ini, perubahan pola pikir ini
mungkin baru pertama kali saya alami, menjadi pemikiran paradoks anti mainstream-mainstream club, hmm
Tentunya perubahan mindset ini tidak terjadi dalam satu
waktu, apalagi perubahan ini terkait dengan impian saya di masa yang akan
datang pasca kuliah nantinya, atau mungkin kamu. pernah? Ibarat sebuah kapal yang
berlayar dengan saya sebagai nahkodanya, pulau yang ada di depan sebagai
orientasi akhirnya, kemudian angin adalah penentu arah geraknya. Perlu kiranya
saya untuk mengetahui situasi angin saat berlayar agar bisa mencapai pulau di depan,
atau pilihan lainnya adalah mengganti haluan karena ritme angin yang tidak
seirama dengan orientasi akhir pulau itu, tapi tetap pada tujuan akhir yakni
sebuah pulau. Jika diawal saya bersikeras untuk bisa mencapai pulau tersebut, walau
ada hambatan dan juga tantangan, maka kali ini saya lebih memilih untuk
mengganti haluan dengan cara yang lebih seru dan juga menyenangkan. Yaps, ini
tentang sebuah renjana (passion), yakni
menjadikan suatu yang disukai menjadi lebih menguntungkan dan bermanfaat. Sudah
cukup penat memang jika menjalani masa kuliah ini dengan suatu hal yang tidak disukai,
memaksakan diri tanpa mengerti keinginan diri itu sendiri, tidak memaksimalkan
potensi tapi malah memaksimalkan belenggu yang terbentuk dari
persepsi-persepsi.
Di bulan Juni hingga Agustus
ini saya banyak menimbang juga berfikir apakah hal yang saya lakukan saat ini sudah
sebanding dengan tujuan saya pasca lulus nanti? Tujuan yang sudah saya tulis
dalam manis manjanya ekspektasi di secarik kertas. Kalo boleh dijujur, menyesal
juga jika mengingat dua tahun kemarin hanya digunakan untuk mengikuti pola
pikir maupun perilaku yang ada, sama dan berulang-ulang. Sesuatu yang pada
awalnya saya kira benar namun pada prosesnya lebih kepada belenggu yang
terbentuk dari persepsi di masa lalu. Kita sudah tahu akhirnya seperti apa, namun
sisi lain diri juga enggan untuk melakukan hal lain dan berbeda, padahal ada
potensi di balik itu semua. Hmm, mengutip perkataan komika senior Pandji
Pragiwaksono, dalam tournya Pandji
berkata bahwa “Sedikit lebih beda, lebih
baik daripada sedikit lebih baik” dari kalimat itu saya berfikir dan bertanya,
perlukah saya menjadi seseorang yang berbeda? Menjadi pemikir di luar kotak?
Atau bahkan tanpa kotak sama sekali? Dalam pikir ini pun terbesit satu prinsip bahwa
menjadi berbeda adalah suatu hal yang istimewa, menjadikan diri kita
terdiferensiasi dengan kebanyakan orang bagi saya adalah suatu hal yang unik
dan juga eksentrik, diferensiasi ini tentunya tetap patuh pada prinsip nilai dan
norma yang ada di masyarakat. Menjadi berbeda berarti juga berani untuk mulai menanggalkan
perilaku-perilaku nyaman pada zona yang aman, perilaku dominan yang dalam
nyatanya tidak begitu besar memberikan dampak positif dalam diri ini. Ya, metamorfosa paradigma ini adalah tentang
pemikiran diferensiasi diri, menjadi berbeda dengan berusaha mencapai versi
terbaik saya dalam diri dan hidup ini.
Just
Do it, Don’t Regret It
Sembari
merenungi pemikiran-pemikiran abstrak tak karuan terkait lulus nanti, hendaknya
dibarengi dengan realisasi impian yang sudah direncanakan supaya tak berakhir menjadi
sebuah ekspektasi semata, Penting pula untuk bisa mengenal diri sendiri, passion dan juga tujuan akhir nantinya,
agar tidak menjadi tabu dan samar-samar. Jangan juga mengikuti dogma persepsi
yang terbentuk tanpa mengetahui tujuan akhir dari persepsi-persepsi tersebut,
apalagi jika persepsi itu bertentangan dengan impian yang selalu di elu-elukan
di awal masuk kuliah, harus yakin dan percaya bahwa sebuah makna itu selalu
bisa lahir dari apapun yang ada. Mengutip perkataan dari Mahasiswa Berprestasi
IPB tahun 2007, Danang Ambar Prabowo “Tulislah
mimpi anda secara nyata, jangan tulis dalam ingatan saja, karena pasti anda
akan lupa” suatu hal yang sangat sederhana, sederhana sekali, hanya
membutuhkan secarik kertas, pulpen dan sedikit pemikiran dewasa untuk
melakukannya. Walau mungkin nanti hanya sebatas gimmick dan dalam eksekusi resolusi impian tersebut hanya menjadi
formalitas semata, tapi saya yakin akan bisa mengobati sedikit kebimbangan yang
membelenggu hati bukan? Setidaknya sudah sedikit lebih jelas apa yang akan
dilakukan di masa ini dan di masa yang akan datang.
Yang
terpenting dan tentunya krusial adalah modifikasi penggunaan waktu, agar waktu
yang digunakan tidak hanya digunakan untuk nge-stalk
social media jodoh impian di masa depan, berselancar dengan asyiknya pada sebuah
gadget kotak yang diam, atau
mantengin keseruan komentator-komentator ulung dalam sebuah postingan yang
viral, pernah (?) Atau sering (?), menjadi bias memang jika waktu yang dijalani
tidak dapat digunakan dengan sebaik mungkin, apalagi ketika sadar jika waktu
yang digunakan dua tahun kebelakang itu terkesan sia-sia, atau memang sia-sia?
Ya ngga lah, canda-canda, heuheu. Secepat dan sesadar mungkin perlu untuk
mengevaluasi diri terhadap penggunaan waktu, kemudian memodifikasinya dan
terpenting adalah aktualisasi diri terhadap waktu tersebut agar waktu yang
digunakan bisa lebih bermanfaat lagi, tidak mubazir dan sia-sia. jangan
menunggu ataupun menunda karena menunggu itu melelahkan, ngga deng, canda lagi,
heuheu. Mulai belajar untuk memprioritaskan hal-hal yang tidak mendesak dan
juga penting, membedakan kebutuhan serta keinginan, mencatat hal yang akan
dilakukan dan capaian dalam 24 jam kehidupan. Akan sulit memang pada awalnya,
terlebih pada prosesnya nanti akan banyak liku atau bahkan pilu.
Sedini dan semaksimal mungkin
pada diri kita perlu ditanamkan sebuah mindset
mendasar tentang satuan waktu, bahwa waktu yang berlaku pasti akan berlalu,
menjadi memori dan pengalaman berharga ataupun sebaliknya. Tinggal pilihannya ada
pada diri kita sendiri, siapkah kita mendekretkan diri untuk mulai menggunakan
waktu dengan baik dan juga bijak?, atau tetap menggunakan waktu dengan sia-sia
seperti tahun-tahun sebelumnya dan berakhir pada sebuah penyesalan? Mari bersyukur
bahwa Allah SWT masih memberikan kita kesempatan untuk bisa memperbaiki itu
semua.
“bila kemarin hanya berlalu bagai angin
berhembus, selalu begitu, apa hari ini aku masih merugi? Jangan lagi” (Kutipan Lagu Seujung Jari oleh Shaffix)
Ibnu Dharma,
Mahasiswa
Brawijaya yang merasa tampan bila difoto dalam perspektif yang menguntungkan.