Agaknya, memang saya adalah salah satu
makhluk hidup yang ngenes dan juga
beruntung. Masuk pada zaman dengan indeks kepekaan yang katanya rendah,
dilanjut sedang kuliah di kota antah-brantah ditambah lagi ketiadaan sanak
famili di kota ini cukup meyakinkan diri kalo saya adalah makhluk hidup yang ngenes. Beruntungnya, saya juga masuk
pada era disrupsi, yang memaksakan diri untuk terus berlari, memantapkan hati
untuk bisa mandiri, berinteraksi guna menambah relasi dan juga membangun ikatan
ukhuwah dengan beberapa kerabat baru
yang nyandu dalam konteks kebaikan. Sebagai makhluk sosial yang hobinya panjat sosial,
saya sadar bahwa berhubungan dengan banyak orang dan banyak karakteristik di
dalamnya adalah sebuah kewajiban untuk dilakukan serta tuntutan untuk direalisasikan.
Apalagi jika sedang belajar di kota orang yang memiliki diferensiasi budaya dan
karakter dengan kota asal. Oleh karenanya, Seseram apapun pemikiran saya
tentang dunia luar, mau tidak mau, tahu tidak tahu, dan yakin tidak yakin. Saya
harus memaksakan pemikiran untuk merubah kelakuan. Keluar untuk berinteraksi,
Keluar untuk menghadirkan kepekaan.
Unik, aneh serta beruntungnya saya
adalah berhasil membangun serta menjalin hubungan dengan beberapa orang di
dalam kelas, kepanitiaan maupun organisasi yang saya ikuti. Beruntungnya lagi
walau telah selesai dalam pertemuan ternyata tidak selesai dalam hubungan. Artinya,
walau sudah lengser dari kepengurusan organisasi, ikatan-ikatan persahabatan itu
tetap terjalin, walaupun hanya sebatas candaan receh dalam media online, atau komenan singkat dalam
postingan Instagram. Benar-benar suatu yang membuat saya merasa nyaman ketika Bersama
dengan mereka.
Namun akhir-akhir ini saya tersadar
bahwa ada satu nilai yang saya lupakan dalam asyiknya persahabatan tersebut,
nilai yang tersamarkan oleh rasa nyaman saya terhadap mereka. Itu tentang kepedulian,
banyak ternyata kalo diingat teman-teman saya di perantauan ini yang peduli terhadap
saya, menjadikan saya sebagai keluarga kedua mereka. Mulai dari meminjamkan
uang, mengantarkan ke kosan, menanyakan kabar, mengingatkan untuk mengerjakan
laporan, bahkan motivasi untuk terus berkarya di blog ini. Namun parahnya, tidak jarang respond yang saya berikan adalah sebuah kebiasaan untuk membiasakan.
Menyederhanakan istimewanya kepedulian dengan menyepelekan. Biasa
Kita hidup dalam zaman yang berbeda
dengan zaman ayah ibu kita dilahirkan, kepedulian saat ini adalah suatu hal
yang kadangkali kita biasakan, bahkan mungkin disepelekan. Padahal adanya
kepedulian lah yang membuat kita hidup. Tanpa pinjaman uang mana bisa kita makan?
Tanpa motivasi mana bisa kita percaya dan yakin bahwa karya kita bagus? Saat
ini adalah saatnya untuk mulai meninggalkan kepongahan diri dan beralih dalam
bentuk mempedulikan. Mempedulikan kepedulian orang lain terhadap kita, teman, sahabat, kaka tingkat. Atau lebih
besar dan lebih kuat lagi adalah mempedulikan semua orang di sekitar kita dan
di dunia ini.
Ibnu Dharma Nugraha
Twitter : @_IbnuDharma
4 komentar:
tanda baca dan kapital penulisannya lebih diperhatikan lagi be...
mantap, lanjutkan!
Terimakasih atas sarannya :)
Wow ada kutu berjalan. Mantap kamus I mendahului saya wkwkwk lanjutkan ka~
terimakasih kamus B, ditunggu tulisannya di blog bintan.
Posting Komentar