Saya
yakini, kita yang kecil dahulu (2000-an) adalah manusia-manusia lugu, yang
mengikuti sekuel hidup dengan basis hidupnya orang lain. Buktinya? Permainan
tamiya tempo 90-an begitu hits di seantero pertiwi, gangsing, crush gear, dll.
Eksistensi kita akan diakui ketika berada pada posisi sama, atau dalam hal lain
adalah posisi lebih keren sehingga membuat pongah akan bentuk, kuantitas maupun
harga mainan itu dan lalu munculah komplimen-komplimen tabu versi anak-anak.
Makannya ngga heran kalo “dulu” anak-anak cowo sehabis disunat selalu ingin beli mainan yang bejibun, selain karena alesan eksistensi tadi akan lebih keren jika dipamerkan ke anak-anak lain yang belum beli = belum disunat, kemudian akan timbul semangat sunat pada jiwa sanubari mereka. Anjay.
Makannya ngga heran kalo “dulu” anak-anak cowo sehabis disunat selalu ingin beli mainan yang bejibun, selain karena alesan eksistensi tadi akan lebih keren jika dipamerkan ke anak-anak lain yang belum beli = belum disunat, kemudian akan timbul semangat sunat pada jiwa sanubari mereka. Anjay.
Kalo diingat emang banyak banget mainan yang udah saya beli, yang kebanyakan malah ngga kepake dalam beberapa hari setelahnya. Ada yang dari pinggir jalan, pedagang keliling atau juga mall yang harganya bisa nyampe 100 ribuan. Saya jadi kepikiran gimana kalo saya versi dulu udah punya pemikiran yang cukup dewasa, mungkin saya akan bilang sama orang tua saya daripada dibeliin mainan lebih baik ditabung uangnya buat biaya kuliah nanti, mungkin juga saya akan bilang untuk ganti channel power rangers jadi channelnya Karni Ilyas di Indonesia lawyers club.
Salah satu
mainan yang cukup berkesan bagi saya adalah mainan dibawah ini, bentuknya berupa buku dengan ukuran A4 sekitar 10 halaman, cover depannya agak tebal berwarna-warni
dan dipenuhi berbagai macam spesies digimon, di dalam bukunya hanya ada kertas
biasa yang ngga ada apa-apa alias kosong. Ini bukan buku gambar, juga bukan
buku death note yang kalopun ada pasti para jomblo akan sangat girang. Ini
semacam buku ekspedisi para penjelajah uang Rp.500-an, yang menyasar anak-anak
dengan uang jajan minimal Rp.1.000/ hari. Para pemilik buku ini diberikan
tanggung jawab yang cukup besar, yaitu mengumpulkan seluruh sticker spesies
digimon dari awal hingga ke tahap evolusinya. Jika dikumulatifkan mungkin sampe
100-an lebih spesies digimon, dan karena faktor randomisasi, digimon-digimon
ini sulit untuk didapatkan.
Bayangkan
aja, sang pemilik harus mengeluarkan uang Rp.500-an untuk beli 3 sticker yang acak,
jadi kalo pada kesempatan kedua ada sticker yang sama kemungkinan besar akan
ditukar, atau mungkin bisa juga dijual kembali ke orang lain yang membutuhkan.
Kalo udah komplit, bisa ditukar jadi gangsing, tamiya atau mainan lainnya
seharga Rp.10.000-an. Saya baru tahu minggu-minggu ini kalo saya kena tipu,
andai kata saya memilih untuk menabung dibanding mengkoleksi sticker digimon
tadi mungkin saya bisa beli 3-4 gangsing, bisa juga beli gorengan selama 1
bulan.
Mainan tempo kecil dulu, kalo ngga salah pas kelas 4 SD |
Anak kecil dan orang dewasa
Anak-anak
adalah segala objek penipuan kelas teri bahkan hingga kelas kakap kalo kasusnya
kaya penculikan, atau juga pemerkosaan. Hal ini terjadi karena pola pikir
mereka yang standar dan masih polos, lebih polos daripada kaos oblong. Makannya
zaman saya dulu juga kalo ada sepatu yang berhadiah mainan selalu banjir
orderan, disatu sisi karena eksistensi dan pamer sedangkan disisi lain adalah penipuan
maya si penjual, padahal mah sepatu dan mainannya juga cepat rusak dalam
beberapa minggu.
Unsur tau bahwa kita ditipu adalah kuadran waktu setelahnya, baik secara temporal ataupun tiba-tiba. Hal ini membuktikan juga pada fasenya setiap pikiran kita akan melahirkan suatu yang disebut kebenaran dengan basis data dan basis nyata. Sehingga doktrin postulat sebelumnya bisa kita patahkan dengan mudah. Seperti kilas balik yang mengantarkan pada suatu hal positif. Mungkin wajar jika tipuan ini terjadi pada anak-anak dengan kepolosannya tadi, tapi apa masih wajar jika terjadi pada orang dewasa dengan pemikirannya yang “katanya” dewasa pula? Akan aneh sih kalo penipuan ini justru terjadi pada orang-orang tersebut, yang nyatanya malah terjadi; Skema ponzinya first travel, beras plastik, telur palsu, dll. Lucu.
Unsur tau bahwa kita ditipu adalah kuadran waktu setelahnya, baik secara temporal ataupun tiba-tiba. Hal ini membuktikan juga pada fasenya setiap pikiran kita akan melahirkan suatu yang disebut kebenaran dengan basis data dan basis nyata. Sehingga doktrin postulat sebelumnya bisa kita patahkan dengan mudah. Seperti kilas balik yang mengantarkan pada suatu hal positif. Mungkin wajar jika tipuan ini terjadi pada anak-anak dengan kepolosannya tadi, tapi apa masih wajar jika terjadi pada orang dewasa dengan pemikirannya yang “katanya” dewasa pula? Akan aneh sih kalo penipuan ini justru terjadi pada orang-orang tersebut, yang nyatanya malah terjadi; Skema ponzinya first travel, beras plastik, telur palsu, dll. Lucu.
Otak
manusia memang terbiasa untuk tidak tertarik pada fakta-fakta kecil yang dinilainya
biasa, sehingga kebohongan mudah sekali diserap oleh otak. Salah satu
penjelasannya karena manusia emang dibiasakan untuk kikir secara mental,
mempercayai intuisi dibandingkan dengan analisa; tidak referal, meyakini
persepsi mainstream yang divisualisasikan pada eksistensi yang menurutnya benar;
delusi. Saya belum tahu juga apakah hal ini masih terjadi pada kita yang
katanya “dewasa”. Atau masih percaya pada mitos bumi dengan bentuk datarnya?
Ntah. Jadi sederhananya dapat kita katakan bahwa anak-anak dan
orang dewasa sama aja kalo kena tipu, yang beda hanya skala dan pangsanya saja.
Kalo dulu digimon, sekarang ponzimon. Eleuh, eleuh.
Dalam langkah preventif, ada banyak hal yang bisa dilakukan seperti menambah literasi yang diiterasikan dengan penuh pembaharuan, melebarkan sayap perspektif, juga sedikit demi sedikit untuk berfikir ala dialektika.
Dalam langkah preventif, ada banyak hal yang bisa dilakukan seperti menambah literasi yang diiterasikan dengan penuh pembaharuan, melebarkan sayap perspektif, juga sedikit demi sedikit untuk berfikir ala dialektika.
Dan temporal waktulah yang akan menjawab, apa kita yang saat ini benar
akan merasa benar juga dikemudian hari. Dan, distansi spasial lah yang akan
membuktikan, apa pada tempat yang kita yakini tepat akan juga tepat di tempat lain berikutnya. Ntah, toh
saya pun baru tau saya ditipu 10 tahun setelahnya.
Malang
01/05/2018
Ibnu Dharma Nugraha
0 komentar:
Posting Komentar