Dalam satu sesi wawancara
online untuk masuk organisasi, saya ditanya tentang kegagalan terbesar dalam hidup. Sebuah pertanyaan
mainstream, ter-globalisasi dan terselip diantara banyak pertanyaan wawancara
sejenis. Siapa nama kamu?—Apa kelebihan kamu?—Apa
kekurangamu?—Apa kesuksesan terbesarmu?—Apa kegagalanmu?. Menjadi
pertanyaan yang tak jemu-jemunya ditanyakan oleh interviewer. Kalopun dijawab saya rasa jawabannya akan mainstream
juga. Nama saya Ibnu—Kelebihan saya bisa
mainin corel draw x20 dan saya tampan—Kekurangan saya ngga bisa manage
waktu, jadi kadang kalo saya tidur tanggal 2 pas bangun udah tanggal
5—Kesuksesan saya dulu pernah ikutan lomba karya ilmiah, idenya tentang ngubah ukuran lele jadi sebesar lumba-lumba—Kegagalan saya blablablabla.
Dan karena saking seringnya, beberapa pertanyaan yang diajukan tadi mudah
ditebak sehingga saya yang tampan ini ngebuat opsi jawaban yang rasional,
sedikit ngawur.
“Apa kegagalan terbesar dalam
hidup kamu?” Cetus salah satu interviewer.
“Kegagalan terbesar dalam
hidup saya adalah ketika ada kebaikan yang tidak bisa diiterasikan mas.” Jawab
saya dengan gagah dan tampan sembari mengkibas-kibaskan poni agar lebih simetris.
“Saya ngga minta kamu buat
orasi, saya minta jawaban kamu.” Sanggah salah satu interviewer disebelahnya yang acuh tak acuh melihat saya.
“Iya mas, jadi kadang ada
kebaikan yang ngga bisa saya pertahankan sampai visinya terwujud. Jadi menyerah
di tengah jalan, ngga istiqomah dan
bagi saya itu adalah sebuah kegagalan terbesar.” Hufftt.
“Semisal dulu saya ikut
kegiatan pengabdian di ranah pendidikan, tapi setelah purna jabatan. Purnalah
juga hal-hal baik yang pernah saya lakukan. Atau ketika saya mulai merintis
usaha, belum apa-apa, belum seberapa, saya menyerah karena melihat fakta di
lapangan yang begitu sulit untuk dielakan. Disana lah adanya kebaikan yang
tidak bisa diiterasikan yang muncul ketika saya berhenti di titik krisis, atau kembali
masuk ke dalam zona nyaman.”
Dua interviewer tadi kelihatan kebingungan.
“Maksud kami, kamu pernah
gagal misalnya IPK kamu di bawah 3.00, atau apa gitu.” Salah satu interviewer mulai memberikan
contoh-contoh kegagalan.
“Ngga mas, saya sekarang IPKnya
ngga di bawah 3.00.”
“Terus apa dong?” Tanya interviewer yang lain.
Kali ini saya yang kelihatan kebingungan.
Karena penasaran, besoknya
saya coba tanya ke teman satu kampus apakah argumentasi saya kemarin itu bisa
disebut sebuah kegagalan. Teman saya kebingungan. Boi-Boi, macam interviewer saban
malam tadi aja kau ini ahhh.
Seperti halnya kesuksesan yang
kadang-kadang tidak dapat diukur oleh ukuran materi atau juga eksistensi. Maka
interpretasi kegagalan juga adalah hal yang sangat-sangat subjektif dan juga
relatif. Saya gagal masuk PTN, saya gagal masuk organisasi, saya sampai
sekarang masih jomblo. Adalah beberapa contoh dari kegagalan yang substansial namun
tetap subjektif. Belum tentu apa yang dikatakan gagal oleh orang satu akan
linier dengan kegagalan versi orang yang lain. Dan lagi karena fase kegagalan
adalah tentang visi atau mimpi yang tidak bisa dicapai: ini akarnya. Tentu satu
visi orang dengan visi yang lain tidak mesti sama, hal mendasar darinya adalah sisi perspektif yang berbeda-beda.
Kalo versi saya sih, saya dikatakan
gagal ketika ada kebaikan yang tidak bisa diiterasikan (baca: diteruskan). Visinya jelas dan tetap elegan ; lebih baik atau tetap sama dari hari kemarin. Kalo keluar dan
mengalami degradasi daripada itu, sudah tepatlah saya menyebutnya kegagalan. Dan
ini yang sedang saya rasakan. Kalo kamu?
Malang,
23/07/2018
Ibnu Dharma Nugraha