Di sudut timur di luar jendela, kepala bundar mentari
mulai menampakan ronanya. Semburat sinarnya menyirami banyak permukaan tepat
berada di bawahnya. Tak terkecuali jendela kamar di ruang tadi. Cahayanya mulai
mengintip manja ke dalam kamar melalui jendela persegi yang tidak terlalu besar
lalu menghasilkan bayangan-bayangan parsial di dalam. Seketika itu pula
sinarnya merefleksikan bermacam bentuk debu yang semula kasat bagi mata.
Sementara angin dan semburat mentari
beduyu-duyu datang dengan simbiosis yang komensalis: tidak saling menguntungan.
Di dalam kamar itu pula sedang ada perseteruan yang gejolaknya terdengar hingga
ke kamar di sebelahnya, di sebelahnya, hingga di sebelahnya lagi. Lieur. Bunyinya sampai membuat gendang
kepala berdendang sehingga membuat ramai seketika. Perseteruan antara alarm dan
irama sirkadian memang sering terjadi, khusunya di kamar tadi. Yang satu kekeuh pada tugasnya, dan yang satu lagi
kekeuh pada nafsunya. Kadang
dimenangkan oleh alarm dengan bunyi ningnangningnongnya,
tapi lebih sering di menangkan oleh irama sirkadian yang lembutnya bagai kapas
namun berakhir dengan sakit seperti di colok duri durian dari Thailand. Kenapa
harus Thailand? Ntah.
Kamar itu tidaklah terlalu besar. Ukurannya
sekitar enam kali empat meter yang di dalamnya ada sebuah dipan, lemari, meja
belajar, dan beberapa gantungan baju. Susunan benda-benda tadi terlihat abstrak
atau karena tadi malam benda-benda
tersebut kelayapan dan begadang sehingga lupa akan posisi awalnya. Sebuah dipan
terletak di depan lemari, lemari terletak di belakang meja belajar, meja
belajar terletak di antara dua benua, dan gantungan baju terletak di selat
sunda. Ngga usah dibayangkan.
Pada hari itu alarm dengan bunyi ningnangningnongnya akhirnya memenangkan
pertarungan. Memekakan telinga untuk beberapa saat. Dua buah mata perlahan terbuka
sementara tangan kanan secara refleks mematikan alarm handphone yang ada di
samping kepalanya, sesekali tangannya mengusap mata yang sedang lusuh karena
kotoran alias belek. Dua buah mata tadi perlahan mengintai sekeliling melihat
apakah hari sudah cerah lalu menatap samar ke sebuah layar handphone berukuran
lima koma lima inch, berpanel amoled
dengan ram tiga giga—ngga penting untuk dibahas. Pukul tujuh lebih tiga puluh
menit, waktu yang sangat siang untuk seorang mahasiswa bangun dari tidurnya. Dua
jempolnya gesit membuka pattern kode
tanda masuk, tanpa didesak ia membuka media sosialnya dan melihat beberapa chat yang belum sempat dibaca kemarin
malam. Dua jempolnya kembali gesit membalas satu persatu chat yang telah tenggelam, membuat dua kelingkingnya iri dan dengki.
Sesekali bibirnya tersenyum simpul sehingga dua bilah pipinya tertimbul-timbul.
Lucu menurut batinnya.
Pikirannya memang masih terantuk-antuk namun
tidak dengan mata, jari, dan handphone berukuran lima koma lima inch, berpanel amoled dengan ram tiga giga. Mata dan
jari seolah sevisi untuk memperdaya pikiran dan anggota badan lain yang terkulai
lemas di atas kasur empuk dan nyaman.
Chat yang tenggelam sudah dibalas satu persatu. Mata yang sudah jemu mengajak jari untuk berkelana ke dunia lain yang berbeda, penuh kontroversi yang kebanyakan tidak realistis dalam kenyataan: Timeline. Segala berita artis, politikus, selebram, tiktokers yang ngga penting sampai yang sangat ngga penting, postingan viral dengan komentar-komentar yang “sok pintar” bisa ditemuin di sini. Beberapa memang menggunakannya dengan bijak namun kebanyakan adalah sebaliknya.
Si mata dan jari mulai berkelana lagi jauh ke
bawah timeline. Sesekali bibirnya tersenyum
simpul melihat postingan-postingan yang lucu. Matanya yang belum puas kembali
menelisik ke dasar seolah ada mr. bean- mr. bean baru di postingan berikutnya. Mata
dan jari hanya punya satu visi yakni mencari kesenangan batiniah melalui layar handphone
berukuran lima koma lima inch, berpanel amoled
dengan ram tiga giga.
Tak peduli seberapa lama ia berselancar, tak
peduli seberapa lama waktu yang dihabiskan selama itu adalah ruang-ruang
kesenangan dengan bingkaian senyuman akan terus dilakukan, kegiatan rutin pada
masanya bagi mereka si kaum millenial.
Pukul dua belas lebih empat puluh menit. Di
tempat yang sama, senyumnya kembali tersimpul-simpul, pipinya merekah, otaknya
komat kamit, dua jari kelingking makin iri dan dengki. Mata dan jari tidaklah jenuh,
begitu juga handphone yang tertancap mantap pada sambungan kabel usb. Mata,
jari dan handphone menang melawan pikiran-pikiran rasional. Selalu, dan selalu
; berminggu-minggu, bertalu-talu.
Kuningan,
14/06/2018
Ibnu Dharma Nugraha
0 komentar:
Posting Komentar