Saya masih belum bisa paham bagaimana bisa pada kondisi final selalu ada
hal yang tetiba muncul untuk menebalkan suatu keretakan yang membuat lingkaran
senin malam menjadi tidak nyaman. Lalu muncul juga sosok nyata meniadakan
peka, dan jika "kita"
tertawa pada sebagian suaranya selalu ada diam yang menyeringai. Bahwa, tidak
semuanya sama dalam memposisikan. Bahwa, tidak semuanya senang dalam
kebersamaan.
Memaknai kita bukan hanya tentang cerita, juga bukan tentang tawa, sedih,
haru atau momen-momen unik yang langka, Memaknai kita adalah memaknai kebenaran
bahwa pada banyak kejadian selalu banyak hal yang bisa disimpan, bisa
dipelajari. bahwa pada banyak kondisi kita masih banyak pula kekurangan; janji
yang diucap, bukti yang diacap, kerekatan pertemanan, serta yang paling penting
adalah tentang ukhuwah kontinuitas kita pada kuadran-kuadran baru termin
berikutnya.
Matur Suwun
Dalam banyak hal dimana ruang dan waktu telah dilalui bersama, saya banyak
belajar bagaimana menjadi sosok melankolis sejati yang permanen. Bahwa, pada
satu warsa yang lalu adalah hikmah yang bisa dipetik, juga pelik yang bisa
disimpan. Memahirkan diri dengan cerita guru terbaik kita, mendengarkan untuk
mengerti, mengerti untuk memahami, dan memahami untuk melantaskan. Dan pada
akhirnya muara satu warsa ini telah disudahi, waktu kita telah berakhir, tapi
kenangan-kenangannya akan selalu terukir. Lalu lantas, muara apa yang akan kita
tempati di termin-termin berikutnya? Dan lantas, Apa pada muara baru tersebut
kita masih bisa berkumpul untuk bersua? Serta bersua untuk tertawa? Semoga.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Q.S Al-Ahzab
[33]: 72)
Malang,
14/02/2018
Ibnu Dharma Nugraha (Brawijaya Mengajar EM UB 2017)
0 komentar:
Posting Komentar