Beberapa
hari yang lalu saya selesai membaca sebuah buku berjudul “Memetik Matahari”
yang ditulis oleh Agung Adiprasetyo, merupakan CEO dari Kompas Gramedia. Buku
yang saya pinjam dari teman satu kamar saya cukup bisa membuka perspektif baru
juga beda dari orang-orang lain yang saya kira memiliki nilai kebenaran hampir
nol. Di satu sisi juga semakin dapat menguatkan bahwa saya masih sebesar biji
zarah, perlu banyak belajar dari banyak orang, dari banyak perspektifnya dalam
melihat dunia ini. Dalam buku in, ada banyak kutipan yang saya
dapatkan, beberapa memang menjadi favorit saya untuk diingat, selain untuk
menambah pengetahuan lebih seru memang jika bisa di sebar kepada banyak orang
lainnya apalagi kalo ditambah informasi “dari buku yang saya baca”, keliatan
keren padahah mah kere.
“Setiap
Manusia Memiliki Kebebasan untuk Memilih dari Sisi Mana Dia Melihat Dunia Ini” Menjadi
salah satu kutipan yang
akan saya selalu kenang juga ucap kalo ada kesempatakan untuk membeberkan fakta
bahwa itu adalah sebuah kebenaran. Manusia adalah makhluk unik yang berakal,
pada setiap pikiran dan pengetahuannya selalu berada pada sudut pandang yang
membedakan. Contoh sederhana, jika kemudian kita bertanya kepada seorang
pengemis bagaimana sisi ia melihat dunia, kemungkinan besar akan mengganggap
bahwa dunia ini adalah tempat ketidakadilan strata sosial, selalu ada yang
berada pada posisi atas yang kemudian kebanyakan tidak peduli pada sesamanya.
Lain lagi jika kita bertanya pada seorang yang kaya raya, punya uang, banyak
mobil, anaknya kuliah di luar negeri bahkan saking kayaknya sampe luar planet,
gurunya alien dari film Alient : Covenant. Beberapa mungkin akan memandang
dunia pada perspektif yang berlawanan dari pengemis tadi. Hal-hal tadi bukan
lah suatu hal yang instan sehingga kemudian menjadi common pattern pada
masing-masing otak kita. Semua yang kita katakan benar pada hari ini sebetulnya
merupakan akumulasi perspektif pengetahuan, kejadian, pengalaman dari banyak
hal yang telah dilewati selama hidup. Seorang professor dengan doktrin keilmu
pengetahuannya, seorang pengusaha dengan doktrin harta yang diraihnya, seorang
pejabat dengan doktrin jabatan dan kebermanfatannya, dan masih banyak lagi
tentunya, tapi kemudian kenapa masing-masing individu memiliki sudut pandang
yang berbeda? Kembali pada asal muasal manusia adalah makhluk ekstrensik yang
berakal. Otak kita secara disadari ataupun tidak akan mengevaluasi perspektif
yang ditangkap yang kemudian dipilah serta dipilih mana yang salah dan juga
mana yang kita anggap berada pada suatu keabsahan. Tentunya, ini juga dapat
dipengaruhi oleh banyak faktor dan musabab, seperti keluarga, teman juga
lingkungan yang ditinggali. Selalu merasa benar tanpa membenarkan, tidak salah
tapi menyalahkan. Pernah?
Semester
4 kuliah adalah semester yang menyatakan bahwa pemikiran saya sudah
bermetamorfosis menjadi pemikiran yang ntah darimana asalnya selalu saya
kaitkan pada sebuah kenyataan yang tervalidasi kebenarannya, melihat dan tahu
bahwa orang lain memiliki pemikiran yang beda dengan saya, secara sadar
mengelompokannya pada hal yang salah, galat juga gagal. Namun, seiring waktu
dan ruang yang terus bergulir, banyak pula persepektif lain yang saya dapatkan,
begitu kompleks, sekompleks memikirkan quarter life
crisis yang pernah dialami, atau juga sekompleks memikirkan judul
skripsi yang masih saya bingungkan hingga saat ini. Kalo kata buku “Memetik
Matahari” yang saya baca sih gini “Apa pun profesi dan
jalan hidup seseorang, selama dia bisa membuat apa yang dilakukannya bermanfaat
dan memberi kontribusi yang baik bagi lingkungannya, maka selayaknya pilihan
itu disebut sebagai profesi yang baik dan terhormat”
Temukan
Jalan
Waktu
ini terus berjalan, usia terus bertambah. kematian juga semakin dekat. Mengenal
diri sendiri untuk melangkah adalah pondasi utama yang harus dipikirkan dan
perlahan dilakukan. Banyaknya pengetahuan yang di acap, serta pemikiran lain
yang di lihat seharusnya bisa membuat kita yakin mana jalan yang akan kita
pilih pada quarter-quarter berikutnya, utama nya setelah lulus kuliah nanti.
Tidak perlu merasa benar, karena kebenaran itu sejatinya adalah suatu hal yang
abstrak, satu individu dengan individu lainnya memiliki pengertian kebenarannya
yang berbeda. Lalu? cukup untuk menjadi satu hal yakni kebermanfataan,
bermanfaat bagi lingkungan, bangsa dan agama. Apapun jalannya, apapun jalurnya.
“khoirunnas
anfa'uhum linnas” (Sebaik-baiknya manusia, adalah manusia
yang bermanfaat bagi orang lain)
Malang
27/02/2018
Ibnu Dharma Nugraha
Ibnu Dharma Nugraha