Ada yang bilang bahwa kenangan indah itu lahir
dari berbagai kejadian yang hadir, dipendam dan sesekali dikenang. Seakan
kenangan indah akan tetap indah pada termin yang lain. Besok-besok atau jika
perlu hari ini aku ingin sekali mereformarsi bahkan merevolusi hal yang
demikian, bukan karena tidak ada kejadian, bukan pula karena tidak ada yang
dipendam atau dikenang; bukan. Pasalnya beberapa bagian dari itu adalah sebilah
belati yang berputar 180 derajat dari arah depan, atau 360 derajat dari arah
belakang. Ujungnya yang berwarna silver agak karatan itu meluat-meluatkan lancipnya
ke satu bagian anatomi tubuh yang sangat penting, saking pentingnya anatomi
tubuh yang lain akan mengamuk dan jika perlu berkumpul-kumpul, berporak-poranda
untuk menahan. Walau sakit.
Bagaimana tidak hati yang dulu kinclong putih tanpa noda, selalu
bersiul bahagia yang malamnya diluapkan dalam lamunan mesra nan indah di depan riak-riak
air yang jernih. Kini terkaku-kaku termangu meluapkan sendah gelisahnya di
depan pematang, berkalut, di bawah pohon, di atas bumi, ditemani senja, dihempas
kafilah-kafilah angin berlalu yang gemulai dan digigit penyakit lama yang akut
kalau sedang diingat. Warnanya kian hari kian mencolok cokelatnya yang makin
lama makin hitam pekat bak ban hitam bermerek bridgestone yang dilumas kit
black magic sebanyak tujuh pangkat dua kuadrat di akarkan dua—sama aja. Hatinya kini dilanda nestapa
yang begitu lebat macam rambut kribonya bena kribo yang dikeramasi pantene lalu di bilas dengan air sawah hasil
kombinasi dengan larutan kaporit. sungguh
wangi dan lebatnya tidak dapat dilayangkan oleh bayang-bayang. Ditambah lagi dilibat
sebilah belati lancip berkarat 180 derajat dari arah depan, atau 360 derajat
dari arah belakang. Tertusuk, tercabik. Sporadislah dia dan sakit.
Bagaimana ia bisa kembali seperti semula jika
yang diharapkannya menjadi semula tidak kunjung juga semula. Bagaimana ia bisa
kembali bersiul bahagia bilamana yang ia siul-siul tak lagi muncul. Bagaimana
ia bisa kembali beriak-riak jika tidak ada airnya. Bagaimana bisa ia kembali
putih jika pemutih yang dulu hadir sekarang sudah kadaluarsa sehingga
melupakannya. Bagaimana bisa? Kini yang ia tahu hanya jeruji besi berisi
kebahagian yang tertutup rapat dan erat. Di ikat rantai belukar dua belas
rantai dibagi dua dikalikan enam yang terkonsilidasi paripurna dengan gembok
bermerek HSG dijauhkan dari
pasangannya yang tumpul bergelombang absurd agak karatan: kunci. Di jaga ketat oleh
kutukan-kutukan masa kini yang mencekam, jahat
bak awan cumulonimbus yang
mudah marah jika dibenturkan dengan lawan kutubnya. Glegar! Gledek! Glegar! Gledek! begitulah bunyinya. Cengklang! Cengkling! Cengklang! Cengkling! begitulah
kilatnya. Ditempatkan di bagian inti bumi; bagian bumi yang paling
dalam, dipojokan dan terlupakan. Terbakarlah ia saking panasnya.
Kini hatinya mudah marah jika ada yang
bertukar pikiran atau nasib tentang kehidupan romansa dialektika dua sejoli
belum sah, sesuai nalar dan berlogika, namun tidak berdasar moral beragama.
Konon dulu, pernah ada hati lain yang mampir di hatinya, ngekos hingga ngontrak.
Bertalu-talu lalu terdeterminasi menjadi ketetapan hati, menjadi rasa kemudian
mati. Tapi kini, hati itu sudah kabur di bawa hati yang lain yang lebih luas,
lebih putih, lebih mantap siulannya, lebih gagah riakkannya, lebih jernih airnya
saking jernihnya katak sampai lupa daratan bahkan sampai lupa dia amfibi. Lebih
terbukti pastinya.
Pernah satu waktu ada pihak yang ingin merekonsiliasikan
hatinya dengan hati yang telah di ajak pergi oleh hati yang lain itu. Tapi
sayang beribu sayang, tapi sayang berbapak sayang, tapi sayang berbibi sayang—jika dilanjutkan bisa sampai
cicit-cucut-cecet. Hati lain itu tidak ingin kembali. Tidak ingin
berekonsiliasi. Tidak ingin ngontrak dengan masa kontrak yang jangkanya saja tidak
pasti. Reyot dan penuh petaka. Ia sudah betah, gegap gempita, bahagia dengan
hati yang membawanya pergi. Lebih tepatnya hati yang memberikannya kepastian,
bukan kepalsuan. Memberikan bukti, bukan janji. Datang dengan gagah, bukan gegabah.
Meminta restu, bukan merayu. Melewati jalan yang pantas, bukan pintas. I’tikadnya baik, bukan picik. Ikhtiarnya lurus, bukan jadi virus. Begitulah
ia hingga akhirnya menjadi rumah indah bagi hati yang pergi itu hingga sakinah, mawadah, warahmah. Hingga
beranak-pinaklah hatinya melahirkan hati-hati suci yang lain. Hingga mautlah
yang akan memisahkan dua hati itu. Apa-apaan
ini?!
Determinasinya telah mati ditinggal pergi oleh
hati yang telah cukup lama menetap namun tidak pernah ditetapkan sebagai bagian
pelipur lara juga bahagia dalam hubungan yang benar-benar benar. Hati yang
telah pergi telah meminta pula kepastian setiap hari: sehari tiga kali, malam,
siang, pagi. Hati yang telah pergi telah lama pula tahan dari musim hujan ke
delapan sampai musim kemarau ke sembilan. Hati yang telah pergi telah sabar
pula hingga puncaknya terpapar pancaran kelakar dari persatuan setan dua sejoli
hingga kalau bablas bisa jadi tiga
sejoli kalo bablas lagi bisa jadi dua
sejoli kembali.
Hati yang ditinggal kikuk berkalut itu
akhirnya sadar bahwa determinasi yang mati adalah salahnya sendiri, tidak dan
bukan salah hati yang membawa hati yang pernah ngontrak itu pergi. Kembali ia
tercenung merenung di depan pematang, di bawah pohon, di atas bumi, ditemani
senja makin merunduk yang sedikit lalu berbisik jahat namun baik. “Jika sudah
siap baru datangilah, ketuklah dan ucapkan dengan takzim maksud dan tujuan dan
visi-misi dan rencana dan harapan dan impian dan kepastian dan cita dan cinta
dan lain-lain dan sebagainya dan seterusnya.” Ucapnya yakin serta kuat macam
akar beringin umur 100 tahun tercekam erat sampai horizon tanah B dan hebatnya menyelisik lalu terserap ke bagian
anatomi tubuh yang lain. Bergetar dan tersadar. Sekali lagi. Apa-apaan ini?!
Kuningan,
22/06/2018
Ibnu Dharma Nugraha