Sore itu, sekitar pukul 04.15, tidak terlalu
ramai. Di serambi masjid fakultas. Hanya ada satu hingga lima mahasiswa yang
sedang sholat ashar berjamaah, beberapa lagi mengerjakan tugas di gazebo yang cukup luas dekat
masjid. Bercengkrama, tertawa lalu fokus lagi mengerjakan tugas di depan laptopnya.
Seperti biasa, suasana sore cerah adalah
suasana yang indah. Di ufuk barat ada langit yang mulai menampakan jingganya. Ada
angin yang tidak ramai namun lemah gemulai. Suhu yang tidak begitu tinggi dan
tidak begitu rendah seakan memaparkan diri untuk menenangkan hati, tak jarang
juga jadi ajang kontemplasi, atau tidur.
Di serambi itu, saya sedang bercengkrama
dengan salah satu sahabat saya. Tidak perlu disebutkan namanya, saya takut dia
terkenal karena ini. Dengan posisi duduk menyila, bersandar di tembok menghadap ke utara ke luar
masjid, kami mulai bercerita ngalor-ngidul, tentang pengalaman, masa depan, dan
banyak hal lain. Suasana serambi itu benar-benar membuat nyaman. Mungkin karena
tepat di sampingnya ada dua pohon beringin yang besar dengan kanopi pohon yang
sangat lebar. Oksigennya langsung masuk ke hidung, diteruskan ke paru-paru lalu dikeluarkan dalam bentuk karbon dioksida. Atau karena masjid memang selalu memberikan irama eksaltasi, yang
walaupun tidak panoramik namun artistik--syahdu.
“Bro, jangan terlalu membanggakan mas x.
Menyebarluaskan kisah suksesnya ke seantero negeri namun lupa bahwa kita juga
punya hidup yang harus di jalani untuk kemashalatan ummat. Tapi belum juga kita
lakukan. Hingga detik ini, hingga usia ini” Ucapnya ditengah pembicaraan seru
kami.
Pembicaraan dengan konteks eksistensi dan prestise
cukup sering kami bicarakan. Walaupun dalam masalah yang berbeda tapi tetap
dalam topik yang sama. Di semester 1 misalnya, diskusi tentang mahasiswa yang
sering ikut kompetisi pernah menjadi bahan obrolan kami atau juga
jabatan-jabatan mahasiswa di dalam organisasinya tak luput untuk dibahas. Dan kali ini mengenai capaian beberapa orang yang kami kenal dengan umur yang tidak terpaut jauh.
Pemikiran liar sahabat saya kadang bisa menjadi bahan renungan untuk mawas diri akan perubahan-perubahan yang terjadi. Agar tidak pongah. Agar bangun.
Pemikiran liar sahabat saya kadang bisa menjadi bahan renungan untuk mawas diri akan perubahan-perubahan yang terjadi. Agar tidak pongah. Agar bangun.
“Takutnya kalo berlebihan
melebih-lebihkan kelebihan orang lain.
Kita jadi lupa bahwa kita juga punya kelebihan yang harus dibuktikan dan juga
diterapkan. Kan banyak sekarang yang bercerita tentang hidupnya orang lain.
Dari yang baik lah sampai bahkan yang buruk. Tapi lupa bahwa itukan bukan hidup
dia” Ucapnya menambahkan argumennya tadi.
Saya diam agak lama, bukan berfikir untuk
menyanggah seperti biasanya. Tapi justru menyanggah fikiran lama saya—incumbent. Memang wajar, sebagai manusia
kita akan merasa bangga jika teman, orang terdekat, bahkan yang tak dikenal
sekalipun mencapai hal-hal yang luarbiasa, di luar batas kemampuan manusia pada
umumnya. Melangitkan yang sudah langit. Dan membumikan yang masih bumi. Namun dalam kacamata teman saya, kita juga seharusnya bisa jadi kebanggaan, bukan hanya membanggakan.
“Tapi kan, kita bisa belajar dari kisahnya,
kisah jatuh bangunnya, kisah terpuruknya.” Iseng-iseng saya menyanggah walaupun
dalam batin memang menyetujui.
“Maksud gua, jangan sampai berlebihan to. Kisah
sukses bukanlah hanya untuk dipelajari lalu disebarluaskan, tapi juga dipelajari
lalu dilakukan. Percuma kalo kisah baik mereka hanya tersangkut dalam otak
kecil kita, yang kadang juga lupa. Tapi kalo dilakukan justru akan lebih baik
kan manfaatnya.” Ucapnya agak keras menandakan ia serius dengan apa yang
dikatakan.
Saya perlahan mulai memahami maksud yang ia jelaskan. Saya juga mulai paham bahwa dirinya sedang mengalami kegundahan hati yang cukup dahsyat. Mengingat pada umur 20 tahunan ini masih juga banyak hal yang belum dilakukan sehingga terjerat dengan quarter life crisis, krisis di 1/4 hidup. Saya tahu karena memang kami sudah berteman selama kurang lebih tiga tahun di tanah perantauan ini.
Saya perlahan mulai memahami maksud yang ia jelaskan. Saya juga mulai paham bahwa dirinya sedang mengalami kegundahan hati yang cukup dahsyat. Mengingat pada umur 20 tahunan ini masih juga banyak hal yang belum dilakukan sehingga terjerat dengan quarter life crisis, krisis di 1/4 hidup. Saya tahu karena memang kami sudah berteman selama kurang lebih tiga tahun di tanah perantauan ini.
“Jadi gimana?” Saya bertanya dengan nada yang agak
memojokan, sekaligus ingin tahu apa yang akan dia lakukan.
“Yaudah, dari dulu kan kita udah tau bahwa hal
yang baik dan berada di puncak tidak dapat dicapai dengan cara yang mudah, polanya kan gitu. Pasti
ada jatuh yang selanjutnya belajar untuk bangun. Yang sulit memang ikhtiar, istiqomah dan penjagaan idealismenya.
Rata-rata orang yang biasa aja kan mereka ngga sabaran, ya mungkin kaya kita.
Maunya instan lalu jebret goal tercapai
semuanya. Padahal kan ngga kaya gitu” Ia meyakinkan dengan tampang yang kurang
yakin.
Saya tidak menyanggah pernyataanya, karena memang
tidak ada yang perlu disanggah dari ucapan itu.
“Intinya kita harus berkarya, karena karya
adalah bukti bahwa kita pernah ada” Ucapnya dengan gaya yang kekerenan setelah sebelumnya
berfikir satu hingga dua menitan.
Di serambi masjid fakultas itu, saya kembali
berkontemplasi tentang hal yang sudah dilakukan namun belum juga maksimal. Di
serambi masjid fakultas itu, ia menyadarkan bahwa sebagai manusia menjadi bermakna
dalam konteks kebermanfaatan haruslah dimulai, bahkan kalo hanya sebatas ukuran biji
zarah. Di serambi masjid fakultas itu, saya dan dia kembali merenung--jenjam.
Malang
16/05/2018
Ibnu Dharma Nugraha